Dua hari yang genting di Mahkamah Konstitusi. Hakim Muhammad Alim menatap tajam ke layar tablet yang ada di genggamannya. Konsentrasi penuh, sesekali kening pria kelahiran Palopo berkerut. Pun dengan Hamdan Zoelva. Pak Ketua MK terpaku di kursinya.
Pada 19 dan 20 Agustus 2014, rapat rahasia digelar di Lantai 16 Gedung MK. Tumpukan tinggi dokumen di kiri dan kanan hakim, layar tablet 14 inci menyala di depan mereka, sementara layar proyektor besar terus menampilkan data-data. Suasana sangat serius, menjurus tegang.
Saat itu, 9 hakim konstitusi tak sedang memutus sembarang perkara. Ini soal gawat. Soal legitimasi Pilpres 2014 yang berlangsung sengit antara duet Prabowo-Hatta melawan Jokowi-JK. Pasangan pertama menilai telah terjadi kecurangan terstruktur, sistematis dan masif yang membuatnya kalah.
Sidang perdana digelar pada 6 Agustus 2014, dan yang terakhir pada 18 Agustus lalu. Selama itulah bukti-bukti dan para saksi disampaikan. Dari pihak Prabowo-Hatta sebagai pemohon, KPU sebagai termohon, juga Jokowi-JK yang menjadi pihak terkait.Hasil keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang Pemilu Pilpres 2014: gugatan Prabowo Subianto resmi ditolak. Setelah melalui proses pembacaan panjang hasil putusan MK Pilpres 2014 Prabowo Subianto harus mengakui kemenangan Jokowi-JK dalam pemilihan umum pada 9 Juli lalu. Hasil sidang MK Pilpres hari ini menegaskan bahwa Jokowi-JK adalah presiden dan wakil presiden Indonesia terpilih periode 2014-2019.
Pada Pemilu lalu, KPU menyatakan Jokowi-JK sebagai pasangan pemenang dengan total suara sebesar 53,15%. Namun kubu Prabowo meyakini terjadi kecurangan Pilpres 2014 yan bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sehingga mengajukan gugatan kepada MK.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengawali putusan dengan menyebutkan bahwa pasangan Prabowo Subianti-Hatta Rajasa berhak mengajukan permohonan PHPU. MK menilai Prabowo hanya mundur dari rekapitulasi perhitungan suara pada 22 Juli 2014. Hal ini menjadi jawaban atas dalil kubu Jokowi yang menilai kubu Prabowo tidak bisa menggugat karena sudah menarik diri.
Sempat muncul komplain dari kubu Prabowo tentang DPK (Daftar Pemilih Khusus), DPTb (Daftar Pemilih Tambahan), dan DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan). Dalam hal ini, MK menegaskan bahwa ketiga daftar pemilih tersebut tidak melanggar konstitusi.
Disampaikan oleh Hakim Konstitusi, Anwar Fadlil Sumadi, “Mahkamah menilai DPK, DPTb, dan DPKTb adalah pranata yang sah karena diatur oleh pembentuknya yang sesuai peraturan perundang-undangan. PK, DPTB dan DPKTb harus dinilai sebagai implementasi untuk memenuhi hak konstitusional WNI untuk memilih.”
Dijelaskan pula, berdasarkan bukti dan fakta persidangan, tidak ada bukti yang menyimpulkan bahwa KPU (sebagai pihak termohon) dan kubu Jokowi (sebagai pihak terkait) melakukan mobilisasi massa terkait daftar pemilih yang merugikan kubu Prabowo (sebagai pemohon). Atas pertimbangan itu, MK menilai gugatan Tim Prabowo tak relevan.
Dalam kesimpulan yang dibacakan oleh Ketua MK, Hamdan Zoelva, Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak semua gugatan Prabowo-Hatta. Dugaan terjadinya mobilisasi massa seperti yang diklaim terjadi di Papua dan Jawa Tengah tidak mendapatkan bukti yang cukup.
Keputusan MK yang tidak menerima gugatan Prabowo adalah keputusan yang final dan mengikat. Dengan demikian perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) sudah usai, dan pasangan Jokowi-JK menjadi presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019.