11.2.19

PENGELOLAAN KRISIS EKOSISTEM


Kompas, 11/2/2019.

By HK

PERDEBATAN MENGENAI PANGAN, ENERGI, SUMBER DAYA ALAM, LINGKUNGAN HIDUP ATAUPUN INFRASTRUKTUR DALAM DEBAT KEDUA CAPRES-CAWAPRES, MESTINYA DAPAT MENJADI DASAR TINJAUAN PENDEKATAN PEMBANGUNAN.

Itu karena, di satu sisi, kelima sektor yang akan dibahas terkait erat dengan persoalan nyata yang dialami masyarakat luas. Di sisi lain, masalahnya saling terkait dan upaya pemecahan masalah seperti itu perlu diletakkan pada titik keseimbangan antara manfaat ekonomi, kesejahteraan sosial, maupun fungsi lingkungan hidup. Dan dalam prakteknya, tergantung pada keputusan-keputusan politik.

Dari skala perjalanan panjang pembangunan ekonomi, situasi saat ini menempatkan kelima sektor itu sedang berada di tengah-tengah himpitan bencana alam, serta masih adanya ketimpangan penguasaan SDA, juga semakin menipisnya lahan/sumber pangan andalan. Statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 20.041 kejadian bencana alam pada periode 2009—2019, dengan jumlah tahunan semakin meningkat.

Dari seluruh kejadian itu, 13.540 kejadian diantaranya berupa banjir, longsor, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan dan telah merusak 12.725 km jalan dan 804.608 Ha sawah. Laporan terbaru Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pengurangan Resiko Bencana (UNISDR) juga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah korban jiwa akibat bencana alam tertinggi di dunia sepanjang 2018. Dari total 10.373 korban jiwa di seluruh dunia, sebanyak 4.535 orang diantaranya dari Indonesia (Kompas, 3/2/2019). Kenyataan seperti itu menjadi petunjuk kuat pentingnya pergeseran strategi pembangunan, dalam hal ini dengan memperkuat pelaksanaan pendekatan ekosistem yang telah mengalami krisis.

PENDEKATAN EKOSISTEM

Konsep pendekatan ekosistem mengarahkan kita untuk mengakui betapa besarnya kehidupan manusia bergantung pada fungsi gabungan adanya tanaman, hewan, tanah, air, serta nutrisi untuk produksi makanan, maupun ekosistem untuk pengaturan sumber daya iklim dan air, untuk estetika dan nilai-nilai spiritual, serta untuk proses pendukung kehidupan dasar seperti fotosintesis maupun pembentukan tanah. Pendekatan itu memberi penilaian manfaat ekosistem ke dalam empat kategori.

Pertama, sebagai pengatur layanan yaitu manfaat yang diperoleh manusia dari proses ekosistem, seperti kualitas udara, iklim, air, erosi, limbah, penyakit, hama, penyerbukan, maupun terjadinya bencana alam. Kedua, layanan penyediaan yaitu produk langsung yang kita peroleh, seperti makanan, serat, bahan bakar, serta air. Ketiga, layanan kultural yang bersifat non-material, seperti pendidikan, nilai-nilai spiritual, maupun rekreasi. Keempat, layanan pendukung yaitu proses tidak langsung atau jangka panjang untuk produksi tiga kategori layanan sebelumnya, seperti pembentukan tanah, fotosintesis, maupun siklus hara (Millenium Ecosystem Assessment/MEA, 2005).

Pendekatan MEA itu umumnya sejalan dengan layanan ekosistem sebagai ruang hidup masyarakat adat dan lokal di Indonesia. Dari analisis 88 laporan grantee Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) periode 2012-2017, diketahui terdapat 174 jenis barang dan jasa lingkungan yang telah dimanfaatkan. Ketersediaan ragam komoditi itu memungkinkan memenuhi kebutuhan antar waktu. Ketersediaan barang dapat dipenuhi dari 157 jenis, dengan lebih banyak untuk pemanfaatan jangka pendek. Sedangkan pemanfaatan jasa, dari 17 jenis lebih untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang.

Kondisi itu umumnya mendukung kemandirian ekonomi, karena variasi pemanfaatan SDA juga memungkinkan keberlanjutan pasokannya. Perlu pula dicatat bahwa semua itu berjalan di dalam wadah sosial-budaya masyarakat dan bukan hanya berdasarkan motivasi komersial. Sejumlah kegiatan yang diwadahi sosial-budaya masyarakat, misalnya: pengaturan pemanfaatan SDA, perlindungan dan konservasi SDA, mengendalikan perilaku satwa liar, pengetahuan manfaat jenis-jenis tumbuhan obat, kerajinan tangan, wisata bahari, kebiasaan bergotong-royong, konsumsi pangan lokal, pengolahan perikanan laut, identifikasi kualitas benih, proses untuk mencapai kesepakatan.

Apabila pendekatan ekosistem tersebut digunakan untuk mengintegrasikan arah pembangunan kelima sektor di atas, kritik akan hadir karena pendekatan sektor dianggap selalu hanya memilih sifat-sifat komoditas paling unggul bagi manusia, sambil mengabaikan komoditas lainnya. Setiap komoditas diasumsikan berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dan ketergantungan satu dengan lainnya. Dan asumsi itu tetap dipegang sebagai dasar pembenaran eksploitasi SDA, atas hasil kalkulasi kerugian dan resiko “by design” dikecilkan, karena hilangnya keempat bentuk layanan ekosistem seperti diuraikan di atas, diabaikan.

Itulah mengapa konversi hutan alam primer misalnya, menjadi hutan tanaman, kebun monokultur, tambang, selalu dianggap lebih menguntungkan, tanpa mengakui bahwa itu disebabkan nilai-nilai ekosistem yang hilang ditangggung oleh masyarakat luas. Pekebun kelapa sawit yang sedang mempertahankan dan menjaga hutan konservasi bernilai tinggi (high conservation value forest/HCVF) di lokasi HGUnya, bahkan masih ada pemberi HGU yang menganggap upaya seperti itu sebagai perbuatan menelantarkan HGU menjadi lahan tidak produktif.

Oleh karena itu, dari tinjauan pendekatan ekosistem, memperdebatkan pembangunan kelima sektor di atas, semestinya bukan hanya untuk mencari jawaban terbaik atas persoalan masing-masing sektor, tetapi juga perlu menjawab bagaimana cara melakukan transformasi pembangunan dari pendekatan sektoral menuju pendekatan ekosistem dimaksud. Pendekatan ekosistem dalam pembangunan itu sendiri sudah ditetapkan dalam Undang-undang No 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan sebutan pendekatan ekoregion.

POLITIK PENATAAN RUANG

Dengan mengabaikan saling ketergantungan semua komoditas di dalam suatu ekosistem, pengelolaan secara parsial terhadap energi, pangan, bahan tambang, kebun, maupun materi alam lainnya, sejauh ini menunjukkan kekeliruan substansial dalam design pembiaran terjadinya trade off. Investasi pemanfaatan SDA cenderung mengorbankan daya dukung lingkungan di satu sisi, dan di sisi lain dapat menjadi penyebab kemiskinan. Apabila dikaitkan dengan pangan, kemiskinan itu akibat produktivitas menurun maupun alih fungsi atau hilangnya lahan pangan masyarakat.

Beberapa laporan Statistik Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) serta hasil wawancara dengan pimpinan daerah terkait pemberian penghargaan Nirwasita Tantra (Green Leadership) akhir tahun lalu, mengonfirmasi trade off dan terjadinya alih fungsi lahan pangan tersebut. Di Sumatera Barat alih fungsi lahan pangan menjadi pertambangan periode 2011-2017 seluas 45.487 Ha, untuk industri 14.682 Ha dan untuk perkebunan 605.416 Ha. Di Bali pada 2015/2016 perubahan lahan pangan menjadi pemukiman sekitar 400 Ha, sedangkan pada 2016/2017 sekitar 1.000 Ha. Sistem perairan Subak pada 1997 sekitar 3.000 unit, awal 2018 menjadi hanya 1.612 unit, yang juga menunjukkan hilangya modal sosial pengaturan air pertanian itu.

Di Jawa Tengah, dari lahan pertanian seluas 884.933 Ha, pada 2015 diubah menjadi lokasi industri 7,28 Ha, pemukiman 510,11 Ha, lahan terbuka 343,16 Ha, pasir darat 178,18 Ha, serta tambak 6,74 Ha. Sementara itu di Wonogiri, pada 2015, lahan pertanian menjadi industri dan pertambangan serta fasilitas sosial dan umum seluas 10,1 Ha, pada 2016 seluas 7,38 Ha, dan pada 2017 seluas 12,3 Ha. Dalam kondisi serupa, alih fungsi lahan pangan di Tasikmalaya juga dilaporkan menyebabkan persoalan ketahanan pangan, degradasi kualitas lingkungan, bencana longsor dan hilangnya keindahan alam untuk wisata.

Sejauh ini, lahan pangan yang sangat penting bagi kehidupan dan keseimbangan ekosistem pedesaan, semakin menjadi target usaha komersial. Para petani umumnya belum mendapat perlindungan untuk mempertahankan tanah mereka dan harus berspekulasi terhadap pilihan menjual atau mempertahankan, karena hasil bertani dari tanah itu semakin tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup. Itu artinya penataan ruang masih terbatas berfungsi pada tataran konseptual menjamin kepastian ruang hidup, tetapi pada tataran praksis belum mampu sebagai alat kendali yang sesungguhnya.

Dalam publikasi "The Scramble for Land Rights: Reducing Inequity between Communities and Companies" oleh Laura Notess, dkk (2018) disebut bahwa dengan semakin terbukanya persaingan penguasaan tanah, telah mendorong usaha swasta besar masuk ke wilayah kelola masyarakat pedesaan. Rakyat miskin, walaupun tanahnya menjadi sumber utama ekonomi keluarga, karena mahal memperoleh sertifikat/legalitas serta produktivitas tanah yang terus menurun termasuk akibat hilangnya sumber-sumber air pertanian, terpaksa melepas tanah leluhur mereka. Dalam waktu yang sama, perusahaan kaya dengan koneksi politik yang kuat, cepat memperoleh dan mengamankan hak-hak atas tanah yang sama.

Pertanyaannya, bagaimana strategi politik untuk menguatkan dan melindungi hak-hak petani atas lahan-lahan pangan, sekaligus jaminan lingkungan hidup yang dapat menjaga sumber-sumber air pertanian serta infrastruktur ekonomi yang memungkinkan keuntungan layak dapat diterima petani? Dalam tinjauan ini, kinerja penataan ruang nasional harus dapat dicerminkan oleh kepastian ruang hidup di tingkat lokal. Itu berarti juga terkait dengan persoalan birokrasi perizinan serta korupsi pemanfaatan SDA yang menjadi akar persoalan pelanggaran tata ruang.

PENUTUP

Agar pendekatan ekosistem dapat dijalankan, selain diperlukan strategi transformasi pembangunan sektoral, juga diperlukan kemauan politik untuk meminimumkan terjadinya trade off yang, pada lingkup pembahasan ini, berujung pada hilangnya perlindungan bagi warga petani untuk mempertahankan lahan sumber pangan. Itu berarti diperlukan pula inovasi untuk memperbaiki fungsi dan tugas lembaga-lembaga pemerintahan yang kini umumnya memiliki pola pikir kurang mendukung dijalankannya pendekatan ekosistem itu ●

/span>

0 komentar:

Posting Komentar