~~~~~~~~
"Jangan ambil sayapnya, Ndi! Itu punya adikmu," cegah ibu saat melihatku mengambil potongan sayap ayam pada sayur opor yang terhidang di meja makan.
Aku mengurungkan niat, lalu memilih mengambil potongan yang lain tanpa memprotes.
Kami hidup dalam keadaan sangat sederhana, tanpa sosok seorang ayah. Jarang sekali ibu memasak opor ayam seperti ini kalau bukan di hari istimewa. Tapi, ibu hanya sanggup membeli separuh ayam. Cuma ada satu sayap, padahal itu potongan kesukaanku dan Ryo, adikku.
Seringkali aku yang harus mengalah. Dan hanya melihat betapa nikmat Ryo menggigit setiap lekuk sayap ayam dengan raut bahagia.
Setelah menaruh piring bekas makan ke dapur, aku masuk ke kamar. Lalu menangis di sana tanpa ibu tahu.
***
"Ke pasar! Ke pasar!" Ryo melompat-lompat di atas kursi kayu tua di ruang tamu.
Aku naik ke kursi yang satunya. Lalu mulai melompat lebih tinggi dan memamerkannya pada Ryo.
"Ryo, bisa lompat segini tidak?"
Ryo menoleh, menatapku dengan mata polosnya sambil tersenyum lebar. "Bisa, Kak!"
Dia melompat. Sekali, dua kali, lalu yang ketiga dia terjungkal jatuh ke lantai. Kemudian mulai menangis kesakitan.
Ibu keluar dari dalam kamar. Melihat keadaan Ryo, dia memarahiku habis-habisan. Bahkan memelintir telingaku dengan kesal.
Sakit.
Ryo berhenti menangis setelah ibu menggendongnya, sementara aku terdiam di samping kursi, dengan mata berkaca-kaca.
Hari ini, ibu mengajak kami berdua ke pasar untuk membeli perlengkapan sekolah. Aku naik ke kelas 2, sementara Ryo baru masuk kelas 1. Ibu harus membelikan seragam baru untuk Ryo, dan membelikan sepatu baru untukku. Karena itu dia membawa kami berdua.
Desa kami, tidak memiliki pasar. Jadi kami harus pergi ke pasar di desa tetangga. Untuk sampai ke sana, kami harus melewati sebuah sungai besar pemisah desa.
Sekarang musim penghujan, jembatan hampir tertutup oleh air sungai. Orang-orang desa biasa menitipkan sepeda dan kendaraan lainnya di sebuah warung yang terletak tepat di sisi sungai. Pulangnya mereka akan mengisi kotak amal yang menempel di tiang parkiran.
"Hati-hati jalannya, Ndi," pesan ibu saat kami mulai meniti jembatan hampir tertutup air itu.
Sementara Ryo berpegangan erat pada ujung kain ibu.
Saat kami sudah melewati separuh panjang jembatan, tiba-tiba air bah dari hulu sungai datang. Terdengar jeritan mereka yang menyaksikan tubuh kami terhempas tanpa daya oleh air yang menerjang.
Beruntung, kami bertiga tertahan oleh dahan-dahan pohon yang ikut terbawa arus. Aku sekitar beberapa meter di sebelah kanan ibu. Sementara Ryo sedikit lebih jauh di arah yang berlawanan denganku.
Kami berdua memanggil ibu, ketakutan. Suaraku menggigil karena air sungai merendam sampai sebatas leher. Sementara tanganku erat memeluk batang pohon di hadapanku.
Di ujung sana, Ryo mulai menangis. Dia memeluk batang pohon yang terombang-ambing. Ketakutan dengan wajah membiru.
Sejenak ibu terlihat bingung. Lalu terdengar suara gemuruh dari hulu sungai sekali lagi. Terlihat air bah datang untuk yang kedua. Kali ini airnya jauh lebih besar.
Cepat, ibu berenang ke arah Ryo. Aku diabaikan. Airmata jatuh menitik saat melihat mereka berpelukan erat.
Tanpa suara. Tanpa jeritan. Kemudian aku terhempas.
***
Aku tersadar di sebuah ruang serba putih. Suasana yang sungguh asing. Beberapa orang berdiri di sekitar ranjang. Menyapaku dengan senyum ramah, lalu mulai bertanya. Tentangku.
"Kau sudah bangun, Nak? Siapa namamu?"
Mulutku terkunci. Kemarahan itu membuatku bungkam. Lalu akhirnya hanya menangis. Menangis karena menginginkan ibu, dan juga karena rasa benci yang menusuk hati.
Mereka pikir aku tidak ingat semuanya. Salah satu dokter di sana memutuskan mengadopsiku.
Dia tinggal di sebuah rumah bagus di kota. Bersama istri dan kedua anaknya. Mereka, kadang sedikit kasar. Tapi setidaknya aku tahu kenapa aku diperlakukan berbeda dari dua anak lainnya.
Hampir setiap malam aku terbangun karena mimpi buruk yang sama. Wajah ibu, wajah Ryo, dan air bah yang datang. Tiap malam aku merasa terhempas. Tiap malam aku merasa diabaikan. Lalu terbangun dan mendapati keadaanku yang memang sangat menyedihkan. Sendirian dalam kamar asing tanpa sentuhan kasih sayang.
***
Lulus dengan nilai hampir sempurna, sang dokter membiayaiku kuliah di jurusan kedokteran, mengikuti jejaknya. Beberapa tahun kemudian aku telah menjadi seorang dokter muda.
Sayangnya, aku harus menerima tugas praktek pertama di sebuah desa. Desa yang namanya sangat tak asing bagiku. Desa kelahiranku.
Berkali aku mencoba menolak, tapi akhirnya aku tetap harus setuju.
Aku akan menetap di sana sampai beberapa waktu. Di hari kepindahanku, para penduduk datang membantu. Mereka menyambut dengan ramah, hanya saja tak ada satu pun yang mengenaliku. Mungkin karena nama dan identitas yang berbeda, dan juga karena mereka pikir Andi, anak malang itu telah lama mati. Mati dibiarkan ibunya terbawa arus sungai.
Beberapa penduduk membantu membereskan klinik, sementara satu dua orang membawakan makanan. Lalu kulihat dia.
Seorang wanita setengah baya bertubuh kurus. Dengan wajah tirus kehitaman akibat sinar matahari. Mulanya dia tersenyum saat menyapaku sambil menunjukkan semangkuk sayur yang ia bawa. Tapi saat mata kami bertemu, senyumnya menghilang.
Demi Tuhan, aku tak pernah lupa wajah itu. Senyum itu. Dan mata itu. Semuanya masih tergambar jelas karena hampir setiap malam aku melihatnya. Melihat caranya membiarkanku terhempas oleh terjangan air sungai.
Melihat matanya mulai berkaca, aku membuang pandangan. Lalu menyibukkan diri dengan alat-alat kedokteran yang harus kusiapkan di klinik. Sibuk menjawab pertanyaan mereka yang masih membantu. Hingga akhirnya saat diam-diam aku menoleh, punggungnya terlihat bergerak menjauh dari halaman.
Akhirnya para penduduk berpamitan pulang setelah semuanya selesai.
Sementara mangkuk sayur itu, tergeletak di atas meja begitu saja. Tak ada niat menyentuh, akhirnya aku membuang seluruh isinya. Bersamaan dengan airmata yang menetes membasahi kemeja.
Memangnya apa yang kuharapkan? Permintaan maaf? Bahkan aku yakin matanya berkaca-kaca hanya karena rasa malu telah mengabaikanku begitu saja.
***
Hari ini seorang pemuda datang mengetuk pintu. Tinggi badan dan lekuk wajah sekilas membuat kami tampak serupa. Hanya saja, badannya terlihat lebih gelap khas penduduk desa. Tapi raut wajah itu ... membuatku sadar kenapa dengan mudah wanita itu mengenaliku.
Kulihat mata itu mulai berkaca-kaca. Tangannya gemetar saat mengusap air yang menitik dari sudut mata. Lalu tubuhnya membungkuk hampir tersungkur di hadapanku. Entah karena tangis, atau karena penyesalan yang terlalu dalam.
"Kak ... datanglah ke rumah, Ibu menunggumu ...." Suaranya terdengar parau.
Tapi aku hanya diam. Bahkan sampai dia akhirnya melangkah pergi dari pintu klinik, aku tetap diam.
Saat punggung itu benar-benar menghilang, aku menutup pintu klinik, menguncinya, kemudian mulai menangis. Menangis sejadi-jadinya hingga dadaku terasa sesak. Merasakan rasa rindu yang datang menyerang, sementara aku tahu seharusnya aku membenci mereka.
***
Minggu pagi. Kuputuskan untuk datang ke rumah itu. Setelah berhari-hari terjebak dalam perang antara kerinduan dan rasa benci.
Jalanan setapak ini, belum banyak berubah. Terbayang jelas di mataku saat berlarian sepulang dari sekolah dulu. Tawa itu, canda itu, juga saling memaki khas anak kecil kala itu. Masih ada beberapa pohon besar yang kukenal. Dimana dulu aku bermain bersama Ryo di bawah dahan-dahannya. Hingga akhirnya Ryo menangis, dan ibu memarahiku.
Ryo menangis, dan ibu memarahiku.
Selalu begitu berulang-ulang. Hingga perlahan muncul pertanyaan itu. Kenapa aku diperlakukan berbeda? Kenapa selalu aku yang disalahkan? Kenapa aku yang selalu dimarahi?
Langkahku melambat. Saat terbayang kembali hantaman air yang menghempaskan tubuh kecil itu. Sementara pemandangan terakhir yang kulihat adalah mereka berpelukan erat. Sementara aku ... diabaikan.
Aku memejamkan mata yang mulai berair. Sejenak berhenti dan menarik napas. Mengusir jarum kecil yang menusuk jantungku.
Lalu sekarang ... kenapa dia menginginkan aku datang? Apa karena melihatku dalam keadaan sesukses ini? Atau karena rasa malu telah membiarkan bocah ini terhempas dulu?
Kulihat Ryo berdiri di halaman rumah tua itu. Menatapku dengan senyum lebar di wajahnya. Tapi beberapa kali kulihat dia menyeka mata.
"Kak ... ayo masuk!" Dia menyambutku hangat.
Aku melangkah mengikutinya masuk ke dalam rumah yang hampir tanpa perubahan. Duduk di kursi kayu sementara Ryo sibuk menunjuk foto-foto usang kami yang terpajang di balik kaca bufet tua.
Lalu dia menunjukkan album foto. Dimana terlihat wajah kami bertiga di lembar awal, lalu setelahnya sama sekali tanpa aku.
Tangannya gemetar saat menunjuk wajah-wajah di album itu. Tetes demi tetes air mulai menitik membasahi lembarnya.
"Kak ... kenapa tidak pernah pulang? Kami sangat merindukanmu ..." lalu dia membungkuk memeluk album sambil mengusap airmata. Bahunya berguncang-guncang menahan isakan.
Air mulai menetes di sudut mataku. Aku berpaling ke arah lain menahan sesaknya. Saat itulah kulihat sosok wanita itu.
Dia datang dari pintu dapur, membawa semangkuk opor di tangannya yang gemetar. Dengan kelopak mata basah dan bibir yang bergetar.
"... ada banyak sayap ayam, Ndi... ada banyak ..."
Pandangan kami bertemu. Luruh sudah.
Aku tersungkur di kakinya karena ledakan kepedihan di dalam dada. Lalu menumpahkan isak tangis di dalam dekap kedua tangannya. Tangan kurus yang sibuk mengusap kepalaku, dan membanjiri wajahku dengan tetes airmata.
"Andi ... Andi ..."
Wanita yang kubenci, tapi kurindukan setengah mati.
***
Mereka perlihatkan padaku, baju-baju kecil yang masih tersimpan rapi. Sendal kecil usang di samping ranjang. Sandal kecilku. Baju seragam terakhir yang kupakai, buku pelajaran yang terakhir kutulis, dan mangkuk opor itu. Mangkuk opor berisi sayap ayam yang selalu disisihkan ibu setelah kepergianku.
Lalu ibu menunjukkan padaku baju seragam-seragam baru yang belum pernah terpakai, juga sepatu dan buku-buku.
Tiap kali tahun ajaran baru, ibu membelikan perlengkapan sekolah untuk kami berdua. Bahkan ketika aku tak lagi ada.
Ibu mengusap airmata dengan ujung kain lusuh yang dikenakannya. Di sana, di dalam isak tangis yang tertahan itu, aku mulai memahami bagaimana perasaannya.
Kalau saja saat itu tak ada beberapa batang pohon besar di antara kami, mungkin aku yang akan diselamatkan. Karena dia harus menyelamatkan hanya satu nyawa di detik-detik berharga, atau dia akan kehilangan keduanya. Lalu dipilihnya Ryo, karena tak ada hambatan di antara mereka.
Walau setelah itu, separuh hatinya mati. Merasa sangat berdosa karena telah membiarkanku terseret air. Hampir setiap malam dia membayangkan wajahku di saat menjelang tidurnya. Juga membayangkan ketika diam-diam aku menangis di dalam kamar karena opor sayap ayam. Lalu dia menangis hingga ujung pagi.
Dengan sesak penuh sesal aku memeluk kaki ibu. Dia membalas dengan usapan tangan yang gemetar di kepalaku.
.
Saat itu, ibu hanya menyayangi kami dengan cara yang berbeda. Dia menganggapku lebih dewasa, tapi aku ingin dianggap sama.
Lalu aku menghukumnya, tanpa bertanya apa alasannya.
.
End
#copas patrick kellan
(judul asli:kasih yg berbeda)
0 komentar:
Posting Komentar