Kisah kehancuran Majapahit, yang diiringi oleh bertumbuhnya negara2 Islam di bumi Nusantara, menyimpan banyak sekali fakta sejarah yang menarik untuk diungkit kembali. Sebagai kerajaan tua di tanah Jawa, Majapahit bukan saja menjadi ikon dari puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa, tetapi juga bukti sejarah tentang PERGULATAN POLITIK (Internasional, Nasional dan Regional) yang terjadi di tengah proses Islamisasi pada masa peralihan, menjelang dan sesudah keruntuhannya.
Para sejarawan benar2 menguras energi untuk mengungkap latar dan motif dibalik kehancuran Majapahit. Tetapi sungguh amat disayangkan, belum banyak sejarawan yang mencurahkan perhatiannya pada peran orang-orang Cina Mongol (Yuan) dalam Islamisasi yang turut mengantar Majapahit ke ambang berakhir kejayaannya. Arus utama penulisan sejarah masih dikuasai oleh kecenderungan untuk menganggap Islam Nusantara sebagai derivat dari Islam "Arab" -- varian Islam yang dianggap lebih otentik dan "murni".
Prof.Slamet Muljana adalah salah satu di antara yang sedikit itu. Kegigihannya melacak asal-muasal keruntuhan Majapahit, membawanya pada sebuah tesis penting tentang kontribusi muslim Mongol dalam sejarah masuk dan berkembangnya Islam di kawasan ini. Sebuah upaya yang jelas dan tak mudah dan (mungkin) tak populer. Betapapun kita tahu, tesis yang telah lazim diterima oleh banyak sejarawan menyatakan bahwa Islam Nusantara adalah prototipe lain dari Islam yang berkembang di jazirah Arab. Temuan Muljana membantah sekaligus mengkritik bahwa yang terjadi tidaklah demikian adanya. Berbagai anasir juga terlibat dalam proses tersebut sehingga Islam yang terbentuk di Nusantara, dan di Jawa pada khususnya,, bukanlah Islam yang "murni", melainkan Islam hibrida yang memiliki banyak varian.
Dalam konteks sejarah pasca-Majapahit, tidak mudah menebak alasan di balik dominannya konstruk Islam yang "Arab-sentris" itu. Tapi sedikitnya ada dua hal mendasar yang bisa dijadikan pijakan guna membaca asumsi ini lebih jauh : politik segregasi kolonial dan ideologi otentisisme Islam. Sejak meletus tragedi Chineezenmoord (pembantaian orang-orang Cina) di Batavia pada 1740, yang menyebabkan lebih dari 10.000 jiwa melayang orang-orang Cina disekap dan dikonsentrasikan pada titik-titik ghetto yang belakangan dikenal sebagai dengan "Pecinan". Pengucilan ini, selain mengakibatkan retaknya hubungan Jawa-Cina yang sebelumnya begitu harmonis, juga memunculkan sentimen anti-Cina dalam banyak hal, termasuk penulisan sejarah. Puncaknya adalah saat rezim Orde Baru berkuasa, ketika berbagai hal yang berbau Cina akhirnya disingkirkan secara sistematis. Faktor kedua, ideologi otentisisme Islam, juga turut menyumbang pada penghilangan jejak sejarah Cina di Nusantara. Ideologi ini, harus diakui, telah "memiskinkan" pengalaman Islam Nusantara yang sangat majemuk dan kaya nuansa. Pelenyapan ini tentu bukan tak disengaja. Di belakangnya ada sekian motif dan kepentingan politik yang turut bermain.
Dr.Asvi Warman Adam :
Pada tahun 1968, terbit buku Prof.Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Buku ini dilarang oleh Kejaksaan Agung karena mengungkapkan hal-hal yang kontroversial pada waktu itu, yakni sebagian walisongo berasal dari Cina. Tidak ada salahnya bila benar bahwa sembilan penyebar agama Islam itu dari Cina atau dari belahan dunia mana pun.
Yang menjadi persoalan adalah saat itu rezim ORBA telah menetapkan Cina sebagai musuh karena negara itu dituduh membantu G30S. pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Beijing, dan segala yang berbau Cina dilarang.
Pada era reformasi ini, ada baiknya pendapat Slamet itu dikaji ulang dengan pikiran yang lebih tenang. Slamet Muljana membandingkan atau--lebih tepatnya-- melakukan kompilasi terhadap tiga sumber, yaitu : Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, dan naskah dari kelenteng Sam Po Kong yang ditulis Poortman dan dikutip Parlindungan.
Residen Poortman th.1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Cina. Raden Patah bergelar Panembahan Jinbun dalam serat kanda, dan Senapati Jinbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata jin bun dalam salah satu dialek Cina berarti "orang kuat". Maka, sang Residen itu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah berbahasa Tionghua yang ada disana -- sebagian sudah berusia 400 tahun -- sebanyak tiga cikar (pedati yang ditarik lembu). Arsip Poortman ini dikutip Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku yang juga kontroversial Tuanku Rao. Slamet Muljana banyak menyitir buku ini.
Slamet menyimpulkan, Bong Swie Hoo -- yang datang di Jawa tahun 1445 -- sama dengan Sunan Ampel. Bong Swie Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahir Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Bonang diasuh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri.
Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Sie Cang yang menjadi kapitan Cina di Semarang. Tahun 1481, Gan Sie Cang memimpin pembangunan Mesjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga mesjid itu dibangun dengan model konstruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan2 kayu yang tersusun rapi. Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh.
Akhirnya Slamet menyimpulkan, Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Sie Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Slamet Muljana adalah Toh A Bo, putra Sultan Trenggana (memerintah di Demak tahun 1521-1546). Sementara itu, Sunan Kudus atau Jafar Sidik yang tak lain dari Jay Tik Siu.
-----------------------------
Pada tahun 1350 M, Rajasanagara (Hayam Wuruk) sedang aktif-aktifnya menyatukan dan mengembakan wilayah Nusantara. Di sekitar era yang sama pulalah Dinasti Yuan (Mongol) yang menjajah Cina Daratan sedang sibuk-sibuknya menguasai wilayah Nusantara, dan itu benar-benar menguras tenaga dinasti Yuan. Ini pulalah tercatat dalam sejarah kita ketika pada jamang Singosari, Kertanegara didatangi oleh utusan dari Cina (Cina-Mongol / Yuan) yang kemudian dipotongnya telinganya utusan itu.
Th.1352, Zhu Yuanzhang (bangsa Han) mulai melakukan pemberontakan terhadap bangsa Yuan. Pada tahun 1356, ia berhasil merebut kota Nanjing yang dikemudian hari menjadi ibukota kerajaan dinasti Ming.
Th.1357, mengetahui penarikan-penarikan dari tentara Yuan, Pajajaran Nagara (Perserikatan kerajaan2 yang tak pernah bernaung di bawah Majaraja-Majakerta) menyerbu basis militer Yuan yang ada di kota Gajah (pelabuhan militer di tepi sungai Bengawan Solo), dan kota Modo (gerbang militer basis pertahanan administrasi di kota Yungyang). Penyerbuan tertahan di kota Babad (Jatim). Pelemahan kekuasaan Yuan di Nusantara ini berkorelasi langsung dengan kondisi keruntuhan kekuasaannya di China daratan yang direbut oleh Dinasti Ming.
Kekuasaan Mongol yang di tahun 1294 mencapai puncaknya yg wilayahnya membentang dari Eropa Timur, bagian selatan Russia, Iran-Irak (wilayah Persia-Sumeria) hingga ke Timur sampai semenanjung Korea, termasuk berusaha ke selatan menganeksasi India tetapi tidak berhasil, walau cukup berhasil mengubah kultur Hindu-Buddha di wilayah2 barat India (sekarang Afghanistan, Pakistan) . India sendiri terancam pembantaian besar-besaran oleh dinasti Moghul (Mughal). Tentu anda pernah mendengar kisah Syah Jehan. Salah satu dari 7 keajaiban dunia Taj Mahal, itulah salah satu buahnya. Tetapi pergerakan bangsa Han untuk memerdekakan diri di China Daratan yang meruntuhkan hegemoni Yuan selama ratusan menyebabkan pasukan dari Kubilai Khan (turunan dari Jengis Khan) terpukul secara drastis pada pusatnya. Ini pulalah yg menyebabkan wilayah2 vassalnya di berbagai belahan dunia juga dipukul oleh gerakan2 kemerdekaan dari berbagai negeri tersebut. Sehingga sisa pasukan dan para panglimanya yang tersebar di berbagai wilayah dunia menjadi lontang-lantung kehilangan tanah pijakan. Inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa orang-orang Yuan itu berusaha menjadikan Nusantara sebagai basis pasukan selatan (Nan Yang) untuk memukul balik China Daratan (Dinasti Ming) dengan cara-cara perkawinan maupun propaganda hasutan2 membenci bangsa2 musuhnya. Salah satu cara retaliasi mereka adalah dengan meruntuhkan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar China, termasuk meruntuhkan Majapahit dan Pajajaran, untuk kemudian menjadi penguasa-penguasa daerah untuk MEMBLOKADE jalur perdagangan darat
"Jalur Sutera" maupun jalur perairan laut. Ini sungguh menghambat perdagangan China, India dsb, sehingga Kaisar Yung Le mengirimkan armada Ming yg dipimpin oleh Laksmana Ceng Hoo untuk membersihkan rute-rute perdagangan itu dari gangguan keamanan.
Kondisi ketegangan antara Yuan dan Ming inilah yang mengawali upaya penghasutan kepada rakyat Nusantara untuk membenci etnis Cina (Han), India, Champa, Persia, Bule (barat) yang pada jaman sebelum-sebelum
nya sangat harmonis dan terjadi akulturasi budaya melalui perdagangan ataupun perkawinan silang secara natural. Konflik internal dikalangan para Sunan sendiri, semisal Islam abangan dipelopori oleh Sunan Ampel dan yang garis keras (kiblat ke Islam Arab) dipromotori oleh Sunan Giri maupun Raden Samudera yang keturunan putri Blambangan dengan syekh Samudera Pasai (adik Syekh Ibrahim) yang dibuang kakeknya karena menolak diislamkan oleh menantunya itu ke seorang janda Islam kaya di Gresik. Hal ini memunculkan konflik internal di kalangan masyarakat Majapahit sendiri sehingga terjadi pengeroposan kohesi masyarakat, yang akhirnya pecah dalam perang besar (Paregreg) akibat serangan Pangeran Blambangan (Bhre Wirabumi) dari Kraton Timur ke Kraton Barat yang sangat melemahkan kekuatan Majapahit pada masa sesudahnya. Jadi keruntuhan Majapahit adalah akibat diadu-domba dikalangan para bangsawannya sendiri dengan iming-iming tahta, kuasa, harta, wanita yang tentu saja memberi angin 'surga' kepada mereka yang berambisi tinggi.
Semoga Indonesia modern dimasa kini dapat memetik hikmah dari pelajaran sejarah ini.
Rahayu!