13.2.18

ISTRI DAN KEBAHAGIAANNYA

Copas dari sebelah

tokokite.com

Seorang suami (sebut saja namanya Budi) bertanya ke saya, “Pak Nas, kenapa ya hutang saya ga lunas lunas?”

Menghadapi pertanyaan sprt ini, biasanya saya jawab dengan mengajaknya menggunakan ilmu “law of projection”, “disiplin kata” atau “garpu tala”. Tapi kali ini saya ingin gunakan jurus berbeda.

Saya tanya balik ke dia “Istri ente bahagia ga sama ente?”

Ditanya pertanyaan berbeda, dia merespon dengan membenarkan pertanyaannya. “Gini pak Nas, ana tanya tentang hutang. Kenapa ya hutang ana ga lunas lunas?”

Sekali lagi saya tanya balik ke dia “iya... ana tanya ente dulu... istri ente bahagia ga sama ente?”

Lama dia terdiam. Lalu dia jawab “kayaknya ga pak nas”

Lalu saya bilang, “ ya sudah... itu jawabannya... ente ga bakal bisa melunasi “hutang” ente kalau istri ente ga bahagia”

“Lho emang ada hubungannya pak Nas?” tanya dia.

“Ya pasti” jawab saya. Lalu saya jelaskan ilmu terumbu karang.

*****

*“Di mana Allah titip rezeki untuk manusia?”*
Ini adalah pertanyaan sederhana, namun banyak manusia tidak tahu jawabannya.

Sementara semua hewan tahu di mana letak rezekinya. Jerapah jika ditanya pasti menjawab di pucuk pohon. Monyet akan menjawab di pohon pisang. Ikan akan menjawab, rezekinya dititip di terumbu karang.

Uniknya, jawaban manusia berbeda-beda. Tidak seragam seperti jawaban hewan. Ada yang menjawab di kantor, di proyek, di bendahara, di mana-mana dan jawaban lain yang menunjukkan sebenarnya kita tidak tahu di mana letak rezeki kita.

Dengan kajian panjang, saya menyimpulkan bahwa rezeki Allah dititip di *“Kemuliaan dan Kebahagiaan Orang Lain”.*

Rezeki yang kita dapatkan sebenarnya bukan karena keahlian kita, bukan juga karena jam kerja yang kita curahkan. Tapi lebih karena kita pernah memuliakan dan membahagiakan orang lain. Lalu Allah berikan reward berupa rezeki yang tercurah akibat proses itu.

Jika jerapah menjaga pucuk pohonnya, monyet menjaga pohon pisangnya, maka ikan pun menjaga terumbu karangnya agar dapatkan rezeki.

Uniknya, manusia dengan mudah menyakiti perasaan manusia lain. Kenapa? Karena tidak tahu konsep “menjaga terumbu karang” ini. Begitulah yang terjadi pada Pak Budi. Dia fokus mencari nafkah di tempat kerja, tapi istri sendiri tidak dia bahagiakan.

*****

Pak Budi menghela nafas. “Terus, apa yang harus saya lakukan pak Nas?”

“Ya sederhana sebenarnya, buat saja istri mulia dan bahagia, karena di sana letak rezeki bapak” jawab saya.

“Kita terlalu sibuk bekerja dan menjadi robot, lalu menganggap dengan aktivitas kita itulah kita mendapatkan rezeki dan mampu membayar hutang-hutang kita. Padahal kita sebenarnya juga bahagiakan orang-orang yang menjadi sebab rezeki kita.

Pimpinan, anak buah, klien, konsumen, kita jagaaa benar hatinya agar tidak tersinggung. Kenapa? Karena kalau tersinggung sedikit saja, mereka akan menghukum kita dengan berkurangnya bagian rezeki kita.

Pimpinan mungkin akan memecat kita, anak buah tidak akan semangat bekerja, klien dan konsumen akan lari, jika kita buat tersinggung.

Saat tiba di rumah... dengan mudahnya kita menyakiti hati istri kita. Kadang sebagai suami, kita menganggap istri harus membuat suami bahagia. Kita-lah raja dalam rumah tangga dan dengan semena-mena kita menuntut banyak hal pada istri kita. Kita pakai dalil2 agama untuk mengeksploitasi istri kita. Semuanya tentang kita dan ego kita sebagai suami.

Ujung dari itu semua, istri tidak bahagia. Seperti ikan, saat terumbu karangnya sudah musnah, manalah mungkin dia bisa dapatkan makanan. Saat istri -sebagai orang paling dekat dengan kita- tidak bahagia, manalah mungkin kita akan dapatkan rezeki”

Pak Budi menunduk lalu menatap saya dalam-dalam...

“Sebenarnya... ini adalah kontemplasi saya juga pak...” ujar saya.

“Oh, pak Nas pernah mengalami?” Tanya pak Budi.

“Ya... begitulah... dulu saya juga orang yang tidak peduli dengan kebahagiaan istri. Terlalu banyak aib jika saya ceritakan... Tapi, sejak saya dapatkan kesimpulan “menjaga terumbu karang” ini, saya balik semua logika saya dalam mencari rezeki.

Saya sudah tidak peduli lagi dengan usaha saya. Saya tidak peduli dengan seberapa banyak nafkah yang saya bisa berikan untuk istri saya. Karena sebenarnya itu hanya dampak dari sikap saya terhadap orang-orang yang paling berharga dalam kehidupan saya. Salah satunya, istri kita.

*****

Suatu saat, ada seorang motivator bisnis dari Amerika. Sesi yang paling saya tunggu adalah pertanyaan tentang rahasia sukses. “Apa rahasia sukses bapak?” Tanya seorang penanya.

Saya sudah menunggu dan menduga jawabannya adalah tentang poin2 manajemen, leadership, kedisipilan atau kerjasama tim.

Jawabannya sungguh tak terduga. Sambil memegang mesra tangan istrinya, sang motivator menjawab “Happy Wife, Happy Life”

Sungguh bukan ini rahasia yang saya nantikan. Tapi dengan fasih, motivator itu menjawab dgn susunan logika yang menggugah perasaan saya, bahwa Kebahagiaan Istri lah yang akan membuat hidup seorang suami bahagia.

Ah... malu saya dengan diri saya sendiri. Banyak orang memanggil saya ustadz, tapi kenapa nilai-nilai ini malah dijiwai oleh motivator bisnis dari negara yang dalam citra saya sudah tidak lagi mensakralkan nilai keluarga.

Setelah itu, berhari-hari saya termenung, kalimat “happy wife, happy life” terngiang2 dalam fikiran dan jiwa saya. Akhirnya dengan mantap, saya membuka hati, mau belajar dan menerapkan semboyan sang motivator untuk meniti kesuksesan saya.

*****

Pak Budi masih di depan saya. Masih mencoba mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari lisan saya. Pak Budi memang sedang konsultasi, tapi hakikatnya ini adalah pembicaraan dua lelaki yang saling berkaca.

Memang tidak mudah menurunkan ego kami sebagai suami. Tapi jika itu yang harus dibayar untuk kesuksesan, kenapa tidak? Sudah terlalu jauh kami berjalan memuaskan ego kami sendiri, dan akibatnya kami tak lagi menemukan bahagia.

*****

“Tapi istri saya keras pak Nas, kadang marah-marah ga jelas, apa yang saya lakukan seperti ga bener semua di mata dia. Kalau sudah begitu, saya ya... kebawa marah” ujar pak Budi

“Ya biar saja lah pak, kadang istri kita memang mesti melampiaskan amarahnya. Satu hal yang akhirnya saya fahami... sejak kita menikahi istri kita, dia punya quota marah yang ga habis-habis... kita harus siap memiliki hati yang luas menghadapinya.

Untuk hal ini, saya terinspirasi dari kisah Nabi Muhammad Saw.

Suatu saat, Nabi saw sedang menerima tamu. Sejurus kemudian, ada ketukan pintu dan memberikan semangkuk sup. “Dari mana sup ini?” tanya Nabi yang dijawab dari istri yang lainnya.

Jawaban itu didengar oleh Aisyah ra di dapur yang juga sedang menyiapkan makanan untuk Nabi yang mulia. Tak diduga, Aisyah keluar dan menghalau mangkuk sup itu dan terjatuh mengenai Nabi saw dan tamunya.

Jika kita menjadi Nabi saw, mungkin penyikapan kita akan marah, atau minimal memberikan pengertian kepada Aisyah ra tentang kesalahan perbuatannya.

Tapi, Dialah Nabi saw yang mulia. Dia hanya mengambil kain membasuh sup yang tumpah di baju beliau dan tamunya dan hanya mengatakan kepada tamunya “maafkan ibumu (ummul mu’minin)... dia sedang cemburu”

Penyikapan yang tepat yang lahir dari keinginan menjaga kebahagiaan istri. Ah... semoga kami mampu mencontoh Nabi kami yang mulia.

****

Kehidupan suami istri laksana lautan dalam yang tak pernah habis digali. Satu hal yang pasti, kita harus pertanggung jawabkan ijab-qobul yang sudah terucap dan disaksikan oleh Allah.

Lalu kita terikat amat kuat dengan hukum Allah.
*“Itsnaani yu’ajjiluhumullahu fid dunya, al-baghyu wa huquuqul waalidayn”*
..ada dua dosa yang dipercepat siksanya oleh Allah di dunia : *berbuat sewenang2 (Al-baghyu) dan durhaka kepada kedua org tua*.

Al-baghyu yang paling besar adalah kepada istri sendiri.
*Allah mensejajarkan, menyakiti istri sama dengan durhaka kepada orangtua.*

Kami berdua menghela nafas... tidak mudah memang menjadi suami, dan kami harus terus belajar. Semoga dengan slogan baru : “Happy Wife, Happy Life”, kami bisa dapatkan kebahagiaan dan kesuksesan kami kembali.

Warning : “Tulisan ini hanya akan cocok jika dibaca oleh suami dan dijalankan olehnya, bukan dipaksa2 sama istri untuk membaca dan melakukannya ☺.

#rahasiamagnetrezeki
#menjagaterumbukarang
Dikopi dari tokokite.com

/span>

12.2.18

MENGAPA MEMINTA KEPADA SESAMA ITU MENURUNKAN REJEKI KITA ?

Masih banyak pertanyaan seputar topik yg kemarin, soal minta meminta. Mengapa kalau meminta itu dampaknya akan berat bagi kita ?

Ada dua hukum alam yang langsung bekerja ke kita :

1. Hukum ketertarikan atau Law of Attraction : Pada saat kita meminta sumbangan, kita sedang memancarkan berita kepada semesta bahwa kita sedang kekurangan uang. Baik kita sedang meminta sumbangan untuk diri kita atau untuk lembaga. Itu akan menarik kondisi yang sama yaitu kondisi kekurangan uang, yg manifestasinya tentu menurunkan rejeki.  Kepada siapa ? Ya kepada yg memiliki perasaan itu alias si pengumpul sumbangan.

2. Hukum Sebab Akibat, atau _siapa menabur angin dia akan menuai badai._ Pada saat Anda meminta kepada seseorang, apalagi jika yg Anda mintai tidak bisa mengabulkan permintaan Anda karena tidak memiliki uang ataupun apa, Anda sedang menempatkan orang itu pada pikiran yg sama yaitu *pikiran tidak memiliki uang*, yang akan menarik penurunan rejeki pula bagi orang itu Siapapun yang menyebabkan rejeki seseorang merosot, rejekinya juga akan merosot lebih banyak lagi.

Sekarang bayangkan Anda yg mengirimkan WA atau SMS atau surat permintaan sumbangan. Dari 100 surat, berapa yg bisa menyumbang. Yg tidak menyumbang itu telah Anda rugikan karena memunculkan perasaan tidak punya uang, perasaan bersalah tidak bisa menyumbang dan berbagai perasaan negatif lainnya. Orang itu menarik kemiskinan kepada dirinya sendiri dengan perasaannya itu. Bagaimana dengan Anda yang telah menyebabkan munculnya perasaan itu ? Siapa menabur angin, dia akan menuai badai.

Tetapi jangan lantas digeneralisasi :"Kalau semua tidak mau menarik sumbangan, bagaimana dengan pembangunan masjid, gereja, pura, gedung RW?". Itu sama saja dengan berpikir "kalau semua jadi dokter siapa yg jadi pasiennya?"; "Kalau semua kaya dan pensiun, siapa yg akan bekerja". Karena hal itu tidak akan terjadi. Apalagi kalau ada fee sekian persen dari sumbangan itu. Semua akan semangat meskipun tahu ilmu ini. Lapar uang seringkali menutup logika karena saat lapar uang, yg berfungsi adalah otak reptil atau otak primitif kita.

Bagaimana jika kita sebagai bendahara tempat berkumpulnya uang sumbangan itu ? Apa juga berdampak ke rejeki kita ? Iya berdampak, tetapi positif karena itu akan memunculkan perasaan kaya dan bisa memberi orang lain, meskipun yg diberikan itu bukan uang kita. Itu akan meningkatkan rejeki kita.

Coba Anda amati, siapa yg biasanya menjadi bendahara ? Pasti yg lebih kaya dibanding yg lain. Siapa yg ditugasi meminta minta sumbangan ?. Biasanya yg keuangannya biasa biasa saja cenderung miskin.

Coba lihat bagaimana cerdiknya alam mengatur yang miskin bertambah miskin dan yg kaya tambah kaya ?

Tinggal Anda memilih mau berada di posisi yang mana?.

/span>

Kisah sepotong sayap ayam

~~~~~~~~

      "Jangan ambil sayapnya, Ndi! Itu punya adikmu," cegah ibu saat melihatku mengambil potongan sayap ayam pada sayur opor yang terhidang di meja makan.

Aku mengurungkan niat, lalu memilih mengambil potongan yang lain tanpa memprotes.

Kami hidup dalam keadaan sangat sederhana, tanpa sosok seorang ayah. Jarang sekali ibu memasak opor ayam seperti ini kalau bukan di hari istimewa. Tapi, ibu hanya sanggup membeli separuh ayam. Cuma ada satu sayap, padahal itu potongan kesukaanku dan Ryo, adikku.

Seringkali aku yang harus mengalah. Dan hanya melihat betapa nikmat Ryo menggigit setiap lekuk sayap ayam dengan raut bahagia.

Setelah menaruh piring bekas makan ke dapur, aku masuk ke kamar. Lalu menangis di sana tanpa ibu tahu.

***

      "Ke pasar! Ke pasar!" Ryo melompat-lompat di atas kursi kayu tua di ruang tamu.

Aku naik ke kursi yang satunya. Lalu mulai melompat lebih tinggi dan memamerkannya pada Ryo.

"Ryo, bisa lompat segini tidak?"

Ryo menoleh, menatapku dengan mata polosnya sambil tersenyum lebar. "Bisa, Kak!"

Dia melompat. Sekali, dua kali, lalu yang ketiga dia terjungkal jatuh ke lantai. Kemudian mulai menangis kesakitan.

Ibu keluar dari dalam kamar. Melihat keadaan Ryo, dia memarahiku habis-habisan. Bahkan memelintir telingaku dengan kesal.

Sakit.

Ryo berhenti menangis setelah ibu menggendongnya, sementara aku terdiam di samping kursi, dengan mata berkaca-kaca.

Hari ini, ibu mengajak kami berdua ke pasar untuk membeli perlengkapan sekolah. Aku naik ke kelas 2, sementara Ryo baru masuk kelas 1. Ibu harus membelikan seragam baru untuk Ryo, dan membelikan sepatu baru untukku. Karena itu dia membawa kami berdua.

Desa kami, tidak memiliki pasar. Jadi kami harus pergi ke pasar di desa tetangga. Untuk sampai ke sana, kami harus melewati sebuah sungai besar pemisah desa.

Sekarang musim penghujan, jembatan hampir tertutup oleh air sungai. Orang-orang desa biasa menitipkan sepeda dan kendaraan lainnya di sebuah warung yang terletak tepat di sisi sungai. Pulangnya mereka akan mengisi kotak amal yang menempel di tiang parkiran.

"Hati-hati jalannya, Ndi," pesan ibu saat kami mulai meniti jembatan hampir tertutup air itu.

Sementara Ryo berpegangan erat pada ujung kain ibu.

Saat kami sudah melewati separuh panjang jembatan, tiba-tiba air bah dari hulu sungai datang. Terdengar jeritan mereka yang menyaksikan tubuh kami terhempas tanpa daya oleh air yang menerjang.

Beruntung, kami bertiga tertahan oleh dahan-dahan pohon yang ikut terbawa arus. Aku sekitar beberapa meter di sebelah kanan ibu. Sementara Ryo sedikit lebih jauh di arah yang berlawanan denganku.

Kami berdua memanggil ibu, ketakutan. Suaraku menggigil karena air sungai merendam sampai sebatas leher. Sementara tanganku erat memeluk batang pohon di hadapanku.

Di ujung sana, Ryo mulai menangis. Dia memeluk batang pohon yang terombang-ambing. Ketakutan dengan wajah membiru.

Sejenak ibu terlihat bingung. Lalu terdengar suara gemuruh dari hulu sungai sekali lagi. Terlihat air bah datang untuk yang kedua. Kali ini airnya jauh lebih besar.

Cepat, ibu berenang ke arah Ryo. Aku diabaikan. Airmata jatuh menitik saat melihat mereka berpelukan erat.

Tanpa suara. Tanpa jeritan. Kemudian aku terhempas.

***

      Aku tersadar di sebuah ruang serba putih. Suasana yang sungguh asing. Beberapa orang berdiri di sekitar ranjang. Menyapaku dengan senyum ramah, lalu mulai bertanya. Tentangku.

"Kau sudah bangun, Nak? Siapa namamu?"

Mulutku terkunci. Kemarahan itu membuatku bungkam. Lalu akhirnya hanya menangis. Menangis karena menginginkan ibu, dan juga karena rasa benci yang menusuk hati.

Mereka pikir aku tidak ingat semuanya. Salah satu dokter di sana memutuskan mengadopsiku.

Dia tinggal di sebuah rumah bagus di kota. Bersama istri dan kedua anaknya. Mereka, kadang sedikit kasar. Tapi setidaknya aku tahu kenapa aku diperlakukan berbeda dari dua anak lainnya.

Hampir setiap malam aku terbangun karena mimpi buruk yang sama. Wajah ibu, wajah Ryo, dan air bah yang datang. Tiap malam aku merasa terhempas. Tiap malam aku merasa diabaikan. Lalu terbangun dan mendapati keadaanku yang memang sangat menyedihkan. Sendirian dalam kamar asing tanpa sentuhan kasih sayang.

***

      Lulus dengan nilai hampir sempurna, sang dokter membiayaiku kuliah di jurusan kedokteran, mengikuti jejaknya. Beberapa tahun kemudian aku telah menjadi seorang dokter muda.

Sayangnya, aku harus menerima tugas praktek pertama di sebuah desa. Desa yang namanya sangat tak asing bagiku. Desa kelahiranku.

Berkali aku mencoba menolak, tapi akhirnya aku tetap harus setuju.

Aku akan menetap di sana sampai beberapa waktu. Di hari kepindahanku, para penduduk datang membantu. Mereka menyambut dengan ramah, hanya saja tak ada satu pun yang mengenaliku. Mungkin karena nama dan identitas yang berbeda, dan juga karena mereka pikir Andi, anak malang itu telah lama mati. Mati dibiarkan ibunya terbawa arus sungai.

Beberapa penduduk membantu membereskan klinik, sementara satu dua orang membawakan makanan. Lalu kulihat dia.

Seorang wanita setengah baya bertubuh kurus. Dengan wajah tirus kehitaman akibat sinar matahari. Mulanya dia tersenyum saat menyapaku sambil menunjukkan semangkuk sayur yang ia bawa. Tapi saat mata kami bertemu, senyumnya menghilang.

Demi Tuhan, aku tak pernah lupa wajah itu. Senyum itu. Dan mata itu. Semuanya masih tergambar jelas karena hampir setiap malam aku melihatnya. Melihat caranya membiarkanku terhempas oleh terjangan air sungai.

Melihat matanya mulai berkaca, aku membuang pandangan. Lalu menyibukkan diri dengan alat-alat kedokteran yang harus kusiapkan di klinik. Sibuk menjawab pertanyaan mereka yang masih membantu. Hingga akhirnya saat diam-diam aku menoleh, punggungnya terlihat bergerak menjauh dari halaman.

Akhirnya para penduduk berpamitan pulang setelah semuanya selesai.

Sementara mangkuk sayur itu, tergeletak di atas meja begitu saja. Tak ada niat menyentuh, akhirnya aku membuang seluruh isinya. Bersamaan dengan airmata yang menetes membasahi kemeja.

Memangnya apa yang kuharapkan? Permintaan maaf? Bahkan aku yakin matanya berkaca-kaca hanya karena rasa malu telah mengabaikanku begitu saja.

***

       Hari ini seorang pemuda datang mengetuk pintu. Tinggi badan dan lekuk wajah sekilas membuat kami tampak serupa. Hanya saja, badannya terlihat lebih gelap khas penduduk desa. Tapi raut wajah itu ... membuatku sadar kenapa dengan mudah wanita itu mengenaliku.

Kulihat mata itu mulai berkaca-kaca. Tangannya gemetar saat mengusap air yang menitik dari sudut mata. Lalu tubuhnya membungkuk hampir tersungkur di hadapanku. Entah karena tangis, atau karena penyesalan yang terlalu dalam.

"Kak ... datanglah ke rumah, Ibu menunggumu ...."  Suaranya terdengar parau.

Tapi aku hanya diam. Bahkan sampai dia akhirnya melangkah pergi dari pintu klinik, aku tetap diam.

Saat punggung itu benar-benar menghilang, aku menutup pintu klinik, menguncinya, kemudian mulai menangis. Menangis sejadi-jadinya hingga dadaku terasa sesak. Merasakan rasa rindu yang datang menyerang, sementara aku tahu seharusnya aku membenci mereka.

***

      Minggu pagi. Kuputuskan untuk datang ke rumah itu. Setelah berhari-hari terjebak dalam perang antara kerinduan dan rasa benci.

Jalanan setapak ini, belum banyak berubah. Terbayang jelas di mataku saat berlarian sepulang dari sekolah dulu. Tawa itu, canda itu, juga saling memaki khas anak kecil kala itu. Masih ada beberapa pohon besar yang kukenal. Dimana dulu aku bermain bersama Ryo di bawah dahan-dahannya. Hingga akhirnya Ryo menangis, dan ibu memarahiku.

Ryo menangis, dan ibu memarahiku.

Selalu begitu berulang-ulang. Hingga perlahan muncul pertanyaan itu. Kenapa aku diperlakukan berbeda? Kenapa selalu aku yang disalahkan? Kenapa aku yang selalu dimarahi?

Langkahku melambat. Saat terbayang kembali hantaman air yang menghempaskan tubuh kecil itu. Sementara pemandangan terakhir yang kulihat adalah mereka berpelukan erat. Sementara aku ... diabaikan.

Aku memejamkan mata yang mulai berair. Sejenak berhenti dan menarik napas. Mengusir jarum kecil yang menusuk jantungku.

Lalu sekarang ... kenapa dia menginginkan aku datang? Apa karena melihatku dalam keadaan sesukses ini? Atau karena rasa malu telah membiarkan bocah ini terhempas dulu?

Kulihat Ryo berdiri di halaman rumah tua itu. Menatapku dengan senyum lebar di wajahnya. Tapi beberapa kali kulihat dia menyeka mata.

"Kak ... ayo masuk!" Dia menyambutku hangat.

Aku melangkah mengikutinya masuk ke dalam rumah yang hampir tanpa perubahan. Duduk di kursi kayu sementara Ryo sibuk menunjuk foto-foto usang kami yang terpajang di balik kaca bufet tua.

Lalu dia menunjukkan album foto. Dimana terlihat wajah kami bertiga di lembar awal, lalu setelahnya sama sekali tanpa aku.

Tangannya gemetar saat menunjuk wajah-wajah di album itu. Tetes demi tetes air mulai menitik membasahi lembarnya.

"Kak ... kenapa tidak pernah pulang? Kami sangat merindukanmu ..." lalu dia membungkuk memeluk album sambil mengusap airmata. Bahunya berguncang-guncang menahan isakan.

Air mulai menetes di sudut mataku. Aku berpaling ke arah lain menahan sesaknya. Saat itulah kulihat sosok wanita itu.

Dia datang dari pintu dapur, membawa semangkuk opor di tangannya yang gemetar. Dengan kelopak mata basah dan bibir yang bergetar.

"... ada banyak sayap ayam, Ndi... ada banyak ..."

Pandangan kami bertemu. Luruh sudah.

Aku tersungkur di kakinya karena ledakan kepedihan di dalam dada. Lalu menumpahkan isak tangis di dalam dekap kedua tangannya. Tangan kurus yang sibuk mengusap kepalaku, dan membanjiri wajahku dengan tetes airmata.

"Andi ... Andi ..."

Wanita yang kubenci, tapi kurindukan setengah mati.

***

       Mereka perlihatkan padaku, baju-baju kecil yang masih tersimpan rapi. Sendal kecil usang di samping ranjang. Sandal kecilku. Baju seragam terakhir yang kupakai, buku pelajaran yang terakhir kutulis, dan mangkuk opor itu. Mangkuk opor berisi sayap ayam yang selalu disisihkan ibu setelah kepergianku.

Lalu ibu menunjukkan padaku baju seragam-seragam baru yang belum pernah terpakai, juga sepatu dan buku-buku.

Tiap kali tahun ajaran baru, ibu membelikan perlengkapan sekolah untuk kami berdua. Bahkan ketika aku tak lagi ada.

Ibu mengusap airmata dengan ujung kain lusuh yang dikenakannya. Di sana, di dalam isak tangis yang tertahan itu, aku mulai memahami bagaimana perasaannya.

Kalau saja saat itu tak ada beberapa batang pohon besar di antara kami, mungkin aku yang akan diselamatkan. Karena dia harus menyelamatkan hanya satu nyawa di detik-detik berharga, atau dia akan kehilangan keduanya. Lalu dipilihnya Ryo, karena tak ada hambatan di antara mereka.

Walau setelah itu, separuh hatinya mati. Merasa sangat berdosa karena telah membiarkanku terseret air. Hampir setiap malam dia membayangkan wajahku di saat menjelang tidurnya. Juga membayangkan ketika diam-diam aku menangis di dalam kamar karena opor sayap ayam. Lalu dia menangis hingga ujung pagi.

Dengan sesak penuh sesal aku memeluk kaki ibu. Dia membalas dengan usapan tangan yang gemetar di kepalaku.

.

Saat itu, ibu hanya menyayangi kami dengan cara yang berbeda. Dia menganggapku lebih dewasa, tapi aku ingin dianggap sama.

Lalu aku menghukumnya, tanpa bertanya apa alasannya.

.

End

#copas patrick kellan

(judul asli:kasih yg berbeda)

/span>

10.2.18

Kronologi kecelakaan bus pariwisata subang

Barangkali ada keluarga,  saudara dan kerabat di grup ini.  Info dari grup tetangga.

*Kepada:*
*Yth. Bp. Dir Lantas Polda jabar*

*Assalamu’alaikum Wr. Wb*
Mohon ijin melaporkan telah terjadi 33 K

*Waktu:*
Pada hari Sabtu tanggal 10 Februari 2018 sekira jam 16.00 wib 

*Tkp:*
Di Jalan Raya jurusan Bandung menuju Subang (Turunan Emen) yang beralamat Kp. Dawuan Ds. Ciater Kec. Ciater Kab. Subang.

*Kendaraan Yang Terlibat:*
1. Kendaraan Bus Pariwisata Premium Fassion No.Pol.: F-7959-AA
2. Kendaraan sepeda motor Honda Beat No.Pol.: T-4382-MM

*Akibat :*
MD :  25 orang
LB : 8 orang
LR : 10 orang
Materi : Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

*I. Pra Kejadian*
*_a. Manusia_*
-  penyelidikan

*_b. Kendaraan_*
Kondisi Kendaraan dalam penyelidikan.

*_c. Jalan & Lingkungan_*
Siang hari, jalan beraspal bagus menikung dan menurun dari arah Bandung menuju arah Subang,jalan terbagi menjadi dua jalur dipisahkan oleh marka jalan garis putih tunggal tidak terputus yang mana jalur dari arah Subang menuju Bandung terbagi menjadi dua lajur dipisahkan oleh garis marka jalan putih tunggal terputus-putus, permukaan jalan aspal hotmix bagus, arus lalulintas sedang, sebelah timur jalan kebun teh dan sebelah barat jalan tebing.  

*II. Kronologis (Pada saat kejadian)*
Kendaraan Bus Pariwisata PO. Premium Fassion No.Pol : F-7959-AA dikemudikan sdr. AMIRUDIN datang dari arah Bandung/selatan menuju arah Subang/utara sewaktu melintas jalan yang menurun dan berkelok berjalan tidak terkendali menabrak Kendaraan sepeda motor Honda Beat No.Pol.: T-4382-MM pengendara (belum diketahui identitasnya) kemudian Kendaraan Bus Pariwisata PO. Premium Fassion No.Pol : F-7959-AA menabrak tebing sebelah kiri/barat jalan lalu terguling dibahu jalan sebelah kiri/barat.

*III. Pasca Kejadian*
*_Data2 yg didapat di TKP sbb:_*

*Identitas pengemudi / pengendara:*
1. Pengemudi Kend. Mobil Bus Pariwisata Premium Fassion No.Pol.: F-7959-AA:
Sdr. AMIRUDIN, 32th, laki-laki, Pengemudi, Alamat : kp. Laladon rt.01.01 ds. Pagelaran Kec. Ciomas kab. Bogor.

2. Pengendara Kend. Spm. Honda Beat No.Pol.: T-4382-MM
(belum teridentifikasi)

*Luka ringan*
1. Sdr. AMIRUDIN, 32th, laki-laki, Pengemudi, Alamat : kp. Laladon rt.01.01 ds. Pagelaran Kec. Ciomas kab. Bogor.
2. Sdr. DEDI KUSNAEDI, 39th, laki-laki, kernet bus, Alamat : Kp. Jasinga Rt.01/04 ds. Cikopo Kec. Leuwiliang kab. Bogor.
3. Sdri. SAWIAH, 41th, perempuan, ibu rumah tangga, Alamat : Kp. Ciputat rt. 08/01 ds. Pirangan kec. Ciputat timur Kab. Tanggerang Selatan
4. Sdri. JUNAENAH, 58th, perempuan, ibu rumah tangga, Alamat : Kp. Ciputat rt. 08/01 ds. Pirangan kec. Ciputat timur Kab. Tanggerang Selatan
5. Sdri. DAHLIA, 46th, perempuan, ibu rumah tangga, Alamat : Kp. Ciputat rt. 08/01 ds. Pirangan kec. Ciputat timur Kab. Tanggerang Selatan
6. Sdri. EUIS INDRAWATI GUFRON, 51th, perempuan, ibu rumah tangga, Alamat : Kp. Ciputat rt. 08/01 ds. Pirangan kec. Ciputat timur Kab. Tanggerang Selatan
7. Sdr. DEWO, 57th, perempuan, ibu rumah tangga, Alamat : Kp. Ciputat rt. 08/01 ds. Pirangan kec. Ciputat timur Kab. Tanggerang Selatan
8. Sdri. SAANIH, 51th, perempuan, ibu rumah tangga, Alamat : Kp. Ciputat rt. 04/01 ds. Pirangan kec. Ciputat timur Kab. Tanggerang Selatan
9. Sdr. NAMAN, 42th, laki-laki, swasta, Alamat : Kp. Ciputat rt. 08/01 ds. Pirangan kec. Ciputat timur Kab. Tanggerang Selatan
10. Sdri. YETI MUNJIAWATI, 48th, perempuan, Alamat : Jl. Legosoraya no.92 rt.07/01 kel. Pisangan kec. Cipatat timur Kota Tanggerang selatan.

*Luka berat*
1. Sdr. M. ABDUL FATIH, 9th, laki-laki, pelajar, Alamat : Kp. Ciputat rt. 08/01 ds. Pirangan kec. Ciputat timur Kab. Tanggerang Selatan
2. Sdr. SUPRIYONO, 58th, laki-laki, swasta, Alamat : Kp. Ciputat rt. 03/11 ds. Pirangan kec. Ciputat timur Kab. Tanggerang Selatan
3. Sdri. DARSINAH, 65th, perempuan, Ibu Rumah tangga, Alamat : Jl. Legosoraya no.92 rt.07/01 kel. Pisangan kec. Cipatat timur Kota Tanggerang selatan.
4. Sdri. NASIAH, 57th, perempuan,  Ibu Rumah tangga, Alamat : Jl. Legosoraya no.92 rt.02/01 kel. Pisangan kec. Cipatat timur Kota Tanggerang selatan.
5. Sdri. SAMIRAH, 52th, perempuan, Ibu rumah tangga, Alamat : kp. Ligosok rt.08/01 ds. Pisangan kec. Cipatat timur Kota Tanggerang selatan.
6. Sdri. SATIAH, 56th, perempuan, Ibu rumah tangga, Alamat : kp. Ligosok rt.08/01 ds. Pisangan kec. Cipatat timur Kota Tanggerang selatan.
7. Sdri. KANAH, 66th, perempuan, Ibu rumah tangga, Alamat : kp. Ligosok rt.08/01 ds. Pisangan kec. Cipatat timur Kota Tanggerang selatan
8. Sdri. ELMIRA, 3th, Alamat : Kp. Ciputat rt. 08/01 ds. Pirangan kec. Ciputat timur Kab. Tanggerang Selatan

*Meninggal Dunia*
Korban meninggal dunia sebanyak 25 orang belum teridentifikasi

*Saksi-saksi*
1. Sdr. ISEP, 34th, swasta, Alamat : Kp. Dawuan Ds/Kec. Ciater Kab. Subang.
2. Sdr. DEDI KUSNAEDI, 39th, laki-laki, kernet bus, Alamat : Kp. Jasinga Rt.01/04 ds. Cikopo Kec. Leuwiliang kab. Bogor.
3. Sdri. YETI MUNJIAWATI, 48th, perempuan, Alamat : Jl. Legosoraya no.92 rt.07/01 kel. Pisangan kec. Cipatat timur Kota Tanggerang selatan.

*Tindakan yg dilakukan:*
1. Menerima Laporan.
2. Mendatangi TKP dan olah TKP.
3. Mencatat Identitas pengemudi/pengendara.
4. Kordinasi dengan tim Identifikasi.
5. Mencatat saksi-saksi.
6. Membawa korban yang mengalami luka-luka dan meninggal dunia ke Rumah Sakit dan Puskesmas terdekat.
5. Mengamankan BB.
6. Koordinasi dengan JR.

Piket laka :
1. AIPTU SUDIHARTO, SH.
2. AIPDA EKA TIRTA.
3. BRIPKA SLAMET ERMAWANTO.
4. BRIGADIR NANANG HERYANTO.

Demikian sebagai laporan.
Hormat kami
Kasat Lantas Polres Subang
*AKP Budhy Hendratno, S.H., M.M*

/span>