18.7.15

Asal Usul Halal Bi Halal

ASAL USUL TRADISI LEBARAN DI INDONESIA : HALAL BIHALAL
Idul Fitri bisa dikatakan sebagai festival keagamaan paling kolosal. Bagaimana tidak, seluruh sumber daya dan energi selalu difokuskan untuk menyukseskan peristiwa tahunan ini.Pemerintah sibuk menyiapkan seluruh fasilitas agar ritual mudik berjalan lancar. Bila sampai gagal memfasilitasi, hujatan akan datang bertubi-tubi. Seberapa pun besar pengorbanan warga yang mudik, meski harus terjebak kemacetan berjam-jam, lazimnya tak dirasakan.Mengapa Idul Fitri dirayakan sedemikian gegap-gempita? Pertanyaan ini pasti muncul dalam benak banyak orang.
Secara teologis, Idul Fitri merupakan ungkapan rasa syukur bagi umat Islam yang berhasil melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Keberhasilan itu mengantarkan seorang muslim menaiki tangga spiritual yang tinggi, yaitu kembali kepada kesucian diri. Dari sudut ini, hanya orang-orang Islam yang berpuasa yang berhak merayakan dan mendapatkan Idul Fitri.Namun Idul Fitri juga merupakan peristiwa kebudayaan yang bisa dirayakan siapa saja. Bukan hanya muslim yang melaksanakan puasa Ramadan, nonmuslim pun bisa ikut merayakan. Idul Fitri kini sudah menjadi festival kebudayaan Islam Nusantara.HalalbihalalDi samping tradisi mudik, dalam IdulFitri juga ada tradisi halalbihalal, yang merupakan tradisi khas Islam Nusantara. Meski menggunakan struktur bahasa Arab, kata ini tidak dikenal di dunia Arab. Kata"halalbihalal" merupakan kreativitas muslim Nusantara. Meski tradisi saling memaafkan merupakan ajaran Islam, pengemasan dalam aktivitas yang disebut halalbihalal merupakan karya genuine muslim Nusantara.Bahkan, karena dalam bahasa Arab tidak dikenal, ada sebagian kalangan yang menganggap halalbihalal sebagai bidah atau praktek yang tidak diajarkan Islam. Sebuah anggapan yang tentu saja berlebihan.Profesor Doktor Quraish Shihab dalam sebuah kesempatan menjelaskan, istilah halalbihalal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa. Dari sisi hukum, kata "halal"adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengandung dosa. Dengan demikian, halalbihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa menjadi halal dengan jalan memohon maaf.Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata "halal", yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata, memiliki varian makna, antara lain:"menyelesaikan masalah","meluruskan benang kusut","melepaskan ikatan", "mencairkan yang beku", dan "membebaskan sesuatu". Bahkan, jika langsung dikaitkan dengan kata "dzanbin", halla min dzanbin, akan berarti"mengampuni kesalahan".Jika demikian, berhalalbihalal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, menyambung silaturahmiyang putus, dan seterusnya.f Semua merupakan tujuan diselenggarakannya halalbihalal.Ada juga yang berpendapat, secara kebahasaan, dalam kata"halalbihalal" bisa terdapat "kata yang tersembunyif (dhamir)" yang, jika diungkap, akan berbunyi thalabu halâl bi tharîqin halâl (mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan). Atau bisa juga berbunyi halâl yujza'u bi halâl (pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan). Hal inilah yang penulisc maksud sebagai kreativitas Islam Nusantara. Sebuah cara beragama yang senantiasa berupaya untuk membumikan ajaran Islam dengan cara yang damai.Ekspresi Islam NusantaraPenulis sengaja mengaitkan soal Idul Fitri dengan Islam Nusantara, bukan saja karena persoalan Islam Nusantara sedang menjadi perbincangan publik, tapi juga karena kita sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia mempunyai tanggung jawab besar untuk turut menentukan arah peradaban Islam dan dunia.Peradaban Islam Nusantara, meskipun relatif lebihg muda dibanding peradaban Islam Timur Tengah, misalnya, mempunyai kekayaan kearifan dan toleransi yang jarang dimiliki belahan dunia Islam yang lain. Sejarah penyebaranIslam Nusantara adalah sejarah tentang toleransi dan perdamaian.Islam Nusantara adalah Islam yang tumbuh, berkembang, dan hidup di kawasan Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat ajaran Islam (Alquran dan hadis) dan realitas dan budaya setempat. Dialektika kreatif tersebut akhirnya membentuk paham, identitas, nilai, kultur, dan seluruh kekhasan yang ada di dalamnya. Ciri khas Islam tersebut lahir dari tradisi kehidupan dan pergulatan masyarakat Nusantara secara dinamis dalam rentang sejarah yang panjang.Dengan demikian, Islam Nusantara merupakan pergumulan implementasi ajaran Islam dengan kesadaran waqi'iyah (realitas). Sikap realistis ini bukan berarti taslim atau menyerah pada keadaanyang terjadi, melainkan sikap tidak menutup mata atas kenyataan yang dihadapi dengan tetap berusaha untuk mencapai kondisi ideal. Kondisi ideal yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana ajaran Islambisa terimplementasi dengan baik tanpa membuat kerusakan bagi kehidupan. Hal ini merupakan bentuk implementasi wasathiyah (moderat), yangr merupakan salah satu bentuk prinsip dasar syariat Islam (mabadi' al-syari'at) sebagaimana firman Allah dalam QS al-Baqarah [2] ayat 143.Kesadaran waqi'iyah dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar ajaran Islam inilah yang dipraktekkan ulama-ulama yang menyebarkan Islam did Nusantara, sehingga 87 persen pendudukan di Indonesia memeluk Islam tanpa pertumpahan darah. Hal ini pula yang menyebabkan iman tauhid Islam bisa hidup kokoh dalam hati sanubari masyarakat tanpa perasaan keterancaman dan ketakutan. Islam benar-benar bersemayam dalam lubuk hatifff masyarakat.Dengan perspektif ini, perayaan Idul Fitri dengan berbagai aktivitas yang mengikuti merupakan salah satu bentuk ekspresi Islam Nusantara yang menunjukkan syiar Islam yang ramah dan damai.*) Rumadi Ahmad adalah Peneliti senior The Wahid Institute, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Komisioner Komisi Informasi Pusat.***Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 190, 20 Juli 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Menteri Lima Koma". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Prioritas Alutsista Dua Matra", Internasional "'Imperium' Bernama Iran", Ekonomi "Lebih Murah Berbagi Aset", Gaya Hidup "Lebaran ala Pernikahan  Campuran", rubrik Seni Hiburan danreview Film "Danny Collins", serta masih banyak artikel menarik lainnya.
Tulisan lain menyampaikan,
Selama ini kita selalu mengasosiasikan kegiatan silaturahim selama Idul Fitri dengan istilah "HALAL BI HALAL". Padahal istilah tersebut tidak ada dalam Syari'ah Islam, bahkan tidak ada dalam kosa kata bahasa Arab sekalipun. Nah lho...
Kegiatan "halal bi halal" sebenarnya sudah dimulai sejak KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah. Akan tetapi itu baru kegiatannya bukan nama dari kegiatannya. Kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa belum menyebutkan istilah “Halal bi Halal”, meskipun esensinya sudah ada.
Istilah "Halal bi Halal" pertama kali dicetuskan oleh K.H. Wahab Chasbullah di tengah-tengah masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang sedang dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elite politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, di antaranya DI/TII, PKI Madiun.
Pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 1948, Bung Karno memanggil K.H. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunnahkan bersilaturrahmi. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang”, kata Kyai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’”, jelas Kyai Wahab.
Dari saran Kyai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kyai Wahab menggerakkan warga dari bawah.
Jadilah Halal bi Halal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri sampai sekarang.
Merdeka
Dr berbagai sumber
/span>

0 komentar:

Posting Komentar