15.2.18

Ketika Agama Kehilangan Tuhan

Oleh: KH. A. Mustafa Bisri/Gus Mus

Dulu orang berhenti membunuh karena agama. Sekarang orang saling membunuh karena agama.

Dulu orang saling mengasihi karena beragama. Kini orang saling membenci karena beragama.

Agama tak pernah berubah ajarannya dari dulu,Tuhannya pun tak pernah berubah dari dulu. Lalu yang berubah apanya? Manusianya?

Dulu orang belajar agama sebagai modal, untuk mempelajari ilmu lainnya. Sekarang orang malas belajar ilmu lainnya, maunya belajar agama saja.

Dulu pemimpin agama dipilih berdasarkan kepintarannya, yang paling cerdas diantara orang-orang lainnya. Sekarang orang yang paling dungu yang tidak bisa bersaing dengan orang-orang lainnya, dikirim untuk belajar jadi pemimpin agama.

Dulu para siswa diajarkan untuk harus belajar giat dan berdoa untuk bisa menempuh ujian. Sekarang siswa malas belajar, tapi sesaat sebelum ujian berdoa paling kencang, karena diajarkan pemimpin agamanya untuk berdoa supaya lulus.

Dulu agama mempererat hubungan manusia dengan Tuhan. Sekarang manusia jauh dari Tuhan karena terlalu sibuk dengan urusan-urusan agama.

Dulu agama ditempuh untuk mencari Wajah Tuhan. Sekarang agama ditempuh untuk cari muka di hadapan Tuhan.

Esensi beragama telah dilupakan. Agama kini hanya komoditi yang menguntungkan pelaku bisnis berbasis agama, karena semua yang berbau agama telah didewa-dewakan, takkan pernah dianggap salah, tak pernah ditolak, dan jadi keperluan pokok melebihi sandang, pangan, papan. Agama jadi hobi, tren, dan bahkan pelarian karena tak tahu lagi mesti mengerjakan apa.

Agama kini diperTuhankan, sedang Tuhan itu sendiri dikesampingkan. Agama dulu memuja Tuhan. Agama kini menghujat Tuhan. Nama Tuhan dijual, diperdagangkan, dijaminkan, dijadikan murahan, oleh orang-orang yang merusak, membunuh, sambil meneriakkan nama Tuhan.

Tuhan mana yang mengajarkan tuk membunuh? Tuhan mana yang mengajarkan tuk membenci? Tapi manusia membunuh, membenci, mengintimidasi, merusak, sambil dengan bangga meneriakkan nama Tuhan, berpikir bahwa Tuhan sedang disenangkan ketika ia menumpahkan darah manusia lainnya.

Agama dijadikan senjata tuk menghabisi manusia lainnya. Dan tanpa disadari manusia sedang merusak reputasi Tuhan, dan sedang mengubur Tuhan dalam-dalam di balik gundukan ayat-ayat dan aturan agama.

Life in harmony🙏🙏🙏

/span>

13.2.18

Kisah Nyata: UANG 5000 DAN REZEKI KITA

Hari itu Sabtu. Sekitar empat bulan usia pernikahan kami di tahun 2009. Pagi-pagi setelah matahari mulai meninggi, saya dan suami mulai dengan beres-beres rumah bersama-sama. Kemudian kami sarapan. Usai sarapan, suami tanya,

"Kamu masih pegang uang kan?" Tanyanya.

Gajian hari Senin besok, diberikan cash di kantor suami, sejumlah 1.750.000. Artinya uang gajian baru resmi bisa digunakan secepat-cepatnya Senin malam. Sejak awal pernikahan, suami sendirian yang gajian. Saya mah ngga.

Saya jawab, "Ada, 5000 lagi." Sedetik berikutnya saya bertanya balik, "Aa masih pegang uang kan?"

Suami saya bukannya menjawab malah bengong menatap saya kelu.

"Sepeser pun aa ga pegang uang lagi, De. Aa kira kamu masih punya"

"Ya Allah, gimana dong? Kita ngga punya apa-apa juga buat makan"

"Aa juga perlu beli bensin lagi, buat Senin kerja"

Saat itu untuk transport saya berangkat sekolah profesi, saya tenang. Kartu langganan bulanan Abo kereta untuk praktik ke RSCM masih bisa digunakan.

Kami terhenyak. 5000 rupiah. Dihitung dengan cara apapun juga, kami tetap pada kesimpulan uang itu tidak cukup. Kami sadar ini keteledoran dan kelemotan finansial, ngga cerdas sama sekali.

Saat itu adalah hari di mana kami berdua sekere-kerenya jadi orang. Waktu mahasiswa saja, ngga pernah-pernahnya kami ada di posisi itu. Uang tinggal 5000. Saldo di ATM pun sudah sampai di jumlah minimum tak bisa ditarik lagi. Benar-benar cuma punya uang 5000 selembar itu.

Kami sepakati tak meneruskan pembahasan. Mau gimana lagi, makin dibahas makin mumet. Pinjam sama orang tua juga malu. Padahal kalau saya bilang ke Papa, haqul yakin langsung ditransfer detik itu juga. Tapi suamiku malu. Tunggu dulu, katanya. Apalagi baru beberapa bulan menikah begini, rasanya jaim luar biasa. Pingin sekali menunjukkan ke orang tua kalau muda-muda begini, kita bisa juga membiayai hidup sendiri.

Berikutnya Sidqi mengajak saya untuk sholat dhuha saja. Minta petunjuk agar hati tenang, agar uang 5000 itu cukup. Entah bagaimana caranya. Begitulah, iman ini memang hanya setipis kulit bawang, kalau lagi nelangsa ngga punya apa-apa rasanya khusyuk banget dhuha-nya.

Selepas salam dan berdoa, kami merapikan alat sholat. Belum selesai saya melipat sajadah, telefon genggam saya berbunyi.

"Halo mbak Mia, ini Mamanya Obi (bukan nama sebenarnya). Mba Mia tinggal di mana sekarang? Apa masih di Depok?" kata suara di ujung sana.

Lalu obrolan lewat telefon itu berlanjut. Ia adalah orang tua murid yang setahun sebelumnya, anaknya pernah saya ajari les privat matematika. Tiba-tiba saja, Sabtu itu ia menelepon saya, menanyakan alamat kontrakan, lalu minta tolong agar anaknya dilatih lagi beberapa soal matematika menjelang tes di sekolah. Tak banyak pertimbangan, langsung saja saya iyakan. Toh saya dan Sidqi akhir pekan itu tidak akan pergi kemana-mana. Uang tinggal 5000 pula kan.

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di kontrakan kami. Obi anak SD kelas 3 waktu itu membawa beberapa buku. Sebelum les, orang tua Obi pamit dan berjanji akan menjemput anaknya kembali dalam dua jam kedepan. Alhamdulillah juga rasanya mereka pamit, jadi ngga perlu ada apa-apa yang perlu saya suguhkan. Hiks. Saya mempersilakan dan selanjutnya asik membahas soal-soal matematika bersama putranya.

Waktu berlalu sampai les matematika dadakan itupun selesai. Tiba waktu dzuhur. Saya tahu Sidqi sudah lapar. Saya pun begitu. Tapi kami sama-sama paham, uang 5000 itu kita perlu pikir dengan cermat mau dibelanjakan apa untuk makan tiga hari ini plus hari beli bensin. Gajian masih hari Senin!

Seperti yang dijanjikan, Ayah dan Ibunya Obi pun datang menjemput. Mereka izin pamit pulang dan berterima kasih saya bisa dihubungi untuk les dadakan.

"Maaf ya mba Mia sudah diganggu waktunya libur-libur begini", kata sang Ibu sambil pamit pulang. Obi, ayahnya dan adiknya sudah duluan jalan ke arah mobil mereka.

Saya dan Sidqi melambaikan tangan kepada mereka. Tangan kiri saya masih menenteng satu plastik besar berisi pemberian Mamanya Obi tadi.

Alangkah terkejutnya hati kami, ketika dibuka, plastik itu berisi tiga buah dus makanan. Satu dus besar berisi delapan buah aneka roti manis, satu dus berisi ayam bakar satu ekor beserta lalapan dan sambalnya, dan satu dus lagi berisi nasi dan lauk matang siap makan yang dibungkus plastik kecil-kecil. Masih juga terselip amplop berisi 150.000 rupiah.

MasyaAllah! Allahu akbar!

Saya dan Sidqi cuma bisa tertegun dan menangis haru. Kami berpelukan. Betapa Mamanya Obi memberikan bayaran yang sangat overpaid untuk les matematika anak kelas 3 SD selama dua jam. Allah ini ya.. kok bisa-bisanya atur skenario yang ngga masuk akal begini? duh gustii.. asli cuma bisa nangis waktu itu.

Sampai hari ini, saya masih belum bisa menahan haru bila ingat peristiwa hari itu. Kejadian yang selalu jadi pengingat buat saya dan suami, tentang rezeki. Rezeki kami, rejeki kita semua.

Bahwa konon rezeki tak pernah tertukar,  adalah benar adanya. Bahwa Allah memberikan rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka, yakin nyata benarnya. Pagi hari itu, siapa yang mengira kalau kami akan mendapat makanan segitu banyak dan uang 30 kali lipat dari selembar 5000?

Allah Maha Kasih, Allah Maha Kaya. Sangat mudah bagi-Nya memberi kita rezeki dari jalan apa saja yang mungkin tak masuk dalam hitungan manusia.

Barangkali kawan-kawan tidak pernah berada dalam posisi saya, tentu tidak apa-apa. Barangkali juga juga teman-teman tidak percaya bahwa gaji suami yg hanya lebih sedikit dari UMR Jakarta tahun 2009 saat itu masih dapat menghidupi kami berdua saat itu. Tidak masalah.

Saya hanya menyampaikan apa adanya. Buat apa?

Setidaknya, bagi kami, postingan seorang Ibu tentang ilustrasi pengaturan uang belanja 2.500.000 biasa-biasa saja. Lha wong pernah gaji suami kurang dari dua juta, komo deui uang belanjanya tah. Ngga usah dibuat ilustrasinya lah ya, berat. Biar aku saja. Hehehe

Tentu bukan hanya itu ya, pengalaman uang 5000 ini menghunjam dalam hati tentang jangan takut kekurangan rezeki. Jika kita sedang mengalami kesempitan rezeki jangan minder jangan takut. Kita mah memang miskin, da yang kaya mah Allah. Ngga perlu malu. Malu itu, kalau ragu dan takut besok ngga makan, sebab  jangan-jangan kita sudah menghina Ia yang Maha Kaya. Yang penting ikhtiarnya tetap dijalankan, kerja jangan malas, doa juga kuat.

Banyaknya harta, Allah bisa ambil kapan saja. Sedikitnya harta, Allah bisa cukupkan lewat bagaimana saja caranya. Semudah mengantarkan Mamanya Obi ke kontrakan saya waktu itu. Meski tentu saja, berencana dan mengatur keuangan dengan cermat juga keharusan.

Peristiwa uang 5000 dulu itu, masih berguna juga sampai saat ini dan insyaAllah selamanya. Misalnya, ada kalanya suami pulang kantor mengabarkan, dia tidak jadi berangkatkan ke negara A, kemudian digantikan oleh koleganya. Atau ia tidak jadi perjalanan dinas ke tempat B, karena satu dan lain hal. Padahal jika misalnya jadi berangkat, ratusan hingga ribuan dollar bisa ia terima sebagai uang dinas. Saat seperti itu, kenangan uang 5000 ini menjadi penenang hati kami.

Santai saja, selama tidak ada hak yang dilanggar, tidak perlu ada yang dituntut. Rezeki ngga akan kemana. Toh jika kita memaksakan diri mengambil rezeki orang lain, kita tentu lebih takut jika Allah yg mengambil paksa lagi dari kita bukan? Jadi santai saja... insyaAllah hak kita dan rezeki halal akan berkah.

Selain bagi diri sendiri, pengalaman uang 5000 ini juga mengingatkan diri untuk mengerti dan memahami rezeki orang lain.

Misalnya suatu ketika ustadz yg rutin mengisi kajian datang ke kompleks rumah kami di Depok dengan mobil yang tak biasanya ia gunakan. Waktu itu kami candai, "Mobil baru nih stadz?",

Pak ustadz kemudian bercerita. Semalam sebelumnya ada hamba Allah yg kaya datang ke rumah ustadz. Ustadz sendiri tidak kenal, tapi katanya ia pernah datang di salah satu kajian ustadz. Ia punya 3 mobil di rumahnya, dan mobil ini (ustadz menunjuk Innova putih itu) yang paling sering nganggur, tidak digunakan. Ia bilang, mobil itu untuk ustadz saja. Biar ustadz pakai saja untuk kegiatan ustadz pengajian, biar lebih bermanfaat daripada nganggur di garasi rumahnya.

Ia ingin dapat berkahnya dari setiap putaran roda mobil itu tiap kali ustadz ngisi kajian. Sementara mobil ustadz yg lama digunakan untuk operasional pesantren. "Yah itu rizqi dari Allah. Semoga bagi yang memberikan mobil ini Allah berikan keberkahan selalu rezekinya. Ustadz sih belum kebeli mobil begini", katanya menutup cerita tentang mobil itu.

MasyaAllah yah rezeki itu seringkali serba misterius. Setidaknya ketika orang bilang bahwa rezeki itu tidak bisa dihitung matematis, yang mengangguk bukan lagi kepala kami, tapi hati juga ikut meyakini: leres pisan.

Tos ah panjang teuing. Hepi wiken!

Bern, Swiss
11 Februari 2018
Mia Saadah

/span>

ISTRI DAN KEBAHAGIAANNYA

Copas dari sebelah

tokokite.com

Seorang suami (sebut saja namanya Budi) bertanya ke saya, “Pak Nas, kenapa ya hutang saya ga lunas lunas?”

Menghadapi pertanyaan sprt ini, biasanya saya jawab dengan mengajaknya menggunakan ilmu “law of projection”, “disiplin kata” atau “garpu tala”. Tapi kali ini saya ingin gunakan jurus berbeda.

Saya tanya balik ke dia “Istri ente bahagia ga sama ente?”

Ditanya pertanyaan berbeda, dia merespon dengan membenarkan pertanyaannya. “Gini pak Nas, ana tanya tentang hutang. Kenapa ya hutang ana ga lunas lunas?”

Sekali lagi saya tanya balik ke dia “iya... ana tanya ente dulu... istri ente bahagia ga sama ente?”

Lama dia terdiam. Lalu dia jawab “kayaknya ga pak nas”

Lalu saya bilang, “ ya sudah... itu jawabannya... ente ga bakal bisa melunasi “hutang” ente kalau istri ente ga bahagia”

“Lho emang ada hubungannya pak Nas?” tanya dia.

“Ya pasti” jawab saya. Lalu saya jelaskan ilmu terumbu karang.

*****

*“Di mana Allah titip rezeki untuk manusia?”*
Ini adalah pertanyaan sederhana, namun banyak manusia tidak tahu jawabannya.

Sementara semua hewan tahu di mana letak rezekinya. Jerapah jika ditanya pasti menjawab di pucuk pohon. Monyet akan menjawab di pohon pisang. Ikan akan menjawab, rezekinya dititip di terumbu karang.

Uniknya, jawaban manusia berbeda-beda. Tidak seragam seperti jawaban hewan. Ada yang menjawab di kantor, di proyek, di bendahara, di mana-mana dan jawaban lain yang menunjukkan sebenarnya kita tidak tahu di mana letak rezeki kita.

Dengan kajian panjang, saya menyimpulkan bahwa rezeki Allah dititip di *“Kemuliaan dan Kebahagiaan Orang Lain”.*

Rezeki yang kita dapatkan sebenarnya bukan karena keahlian kita, bukan juga karena jam kerja yang kita curahkan. Tapi lebih karena kita pernah memuliakan dan membahagiakan orang lain. Lalu Allah berikan reward berupa rezeki yang tercurah akibat proses itu.

Jika jerapah menjaga pucuk pohonnya, monyet menjaga pohon pisangnya, maka ikan pun menjaga terumbu karangnya agar dapatkan rezeki.

Uniknya, manusia dengan mudah menyakiti perasaan manusia lain. Kenapa? Karena tidak tahu konsep “menjaga terumbu karang” ini. Begitulah yang terjadi pada Pak Budi. Dia fokus mencari nafkah di tempat kerja, tapi istri sendiri tidak dia bahagiakan.

*****

Pak Budi menghela nafas. “Terus, apa yang harus saya lakukan pak Nas?”

“Ya sederhana sebenarnya, buat saja istri mulia dan bahagia, karena di sana letak rezeki bapak” jawab saya.

“Kita terlalu sibuk bekerja dan menjadi robot, lalu menganggap dengan aktivitas kita itulah kita mendapatkan rezeki dan mampu membayar hutang-hutang kita. Padahal kita sebenarnya juga bahagiakan orang-orang yang menjadi sebab rezeki kita.

Pimpinan, anak buah, klien, konsumen, kita jagaaa benar hatinya agar tidak tersinggung. Kenapa? Karena kalau tersinggung sedikit saja, mereka akan menghukum kita dengan berkurangnya bagian rezeki kita.

Pimpinan mungkin akan memecat kita, anak buah tidak akan semangat bekerja, klien dan konsumen akan lari, jika kita buat tersinggung.

Saat tiba di rumah... dengan mudahnya kita menyakiti hati istri kita. Kadang sebagai suami, kita menganggap istri harus membuat suami bahagia. Kita-lah raja dalam rumah tangga dan dengan semena-mena kita menuntut banyak hal pada istri kita. Kita pakai dalil2 agama untuk mengeksploitasi istri kita. Semuanya tentang kita dan ego kita sebagai suami.

Ujung dari itu semua, istri tidak bahagia. Seperti ikan, saat terumbu karangnya sudah musnah, manalah mungkin dia bisa dapatkan makanan. Saat istri -sebagai orang paling dekat dengan kita- tidak bahagia, manalah mungkin kita akan dapatkan rezeki”

Pak Budi menunduk lalu menatap saya dalam-dalam...

“Sebenarnya... ini adalah kontemplasi saya juga pak...” ujar saya.

“Oh, pak Nas pernah mengalami?” Tanya pak Budi.

“Ya... begitulah... dulu saya juga orang yang tidak peduli dengan kebahagiaan istri. Terlalu banyak aib jika saya ceritakan... Tapi, sejak saya dapatkan kesimpulan “menjaga terumbu karang” ini, saya balik semua logika saya dalam mencari rezeki.

Saya sudah tidak peduli lagi dengan usaha saya. Saya tidak peduli dengan seberapa banyak nafkah yang saya bisa berikan untuk istri saya. Karena sebenarnya itu hanya dampak dari sikap saya terhadap orang-orang yang paling berharga dalam kehidupan saya. Salah satunya, istri kita.

*****

Suatu saat, ada seorang motivator bisnis dari Amerika. Sesi yang paling saya tunggu adalah pertanyaan tentang rahasia sukses. “Apa rahasia sukses bapak?” Tanya seorang penanya.

Saya sudah menunggu dan menduga jawabannya adalah tentang poin2 manajemen, leadership, kedisipilan atau kerjasama tim.

Jawabannya sungguh tak terduga. Sambil memegang mesra tangan istrinya, sang motivator menjawab “Happy Wife, Happy Life”

Sungguh bukan ini rahasia yang saya nantikan. Tapi dengan fasih, motivator itu menjawab dgn susunan logika yang menggugah perasaan saya, bahwa Kebahagiaan Istri lah yang akan membuat hidup seorang suami bahagia.

Ah... malu saya dengan diri saya sendiri. Banyak orang memanggil saya ustadz, tapi kenapa nilai-nilai ini malah dijiwai oleh motivator bisnis dari negara yang dalam citra saya sudah tidak lagi mensakralkan nilai keluarga.

Setelah itu, berhari-hari saya termenung, kalimat “happy wife, happy life” terngiang2 dalam fikiran dan jiwa saya. Akhirnya dengan mantap, saya membuka hati, mau belajar dan menerapkan semboyan sang motivator untuk meniti kesuksesan saya.

*****

Pak Budi masih di depan saya. Masih mencoba mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari lisan saya. Pak Budi memang sedang konsultasi, tapi hakikatnya ini adalah pembicaraan dua lelaki yang saling berkaca.

Memang tidak mudah menurunkan ego kami sebagai suami. Tapi jika itu yang harus dibayar untuk kesuksesan, kenapa tidak? Sudah terlalu jauh kami berjalan memuaskan ego kami sendiri, dan akibatnya kami tak lagi menemukan bahagia.

*****

“Tapi istri saya keras pak Nas, kadang marah-marah ga jelas, apa yang saya lakukan seperti ga bener semua di mata dia. Kalau sudah begitu, saya ya... kebawa marah” ujar pak Budi

“Ya biar saja lah pak, kadang istri kita memang mesti melampiaskan amarahnya. Satu hal yang akhirnya saya fahami... sejak kita menikahi istri kita, dia punya quota marah yang ga habis-habis... kita harus siap memiliki hati yang luas menghadapinya.

Untuk hal ini, saya terinspirasi dari kisah Nabi Muhammad Saw.

Suatu saat, Nabi saw sedang menerima tamu. Sejurus kemudian, ada ketukan pintu dan memberikan semangkuk sup. “Dari mana sup ini?” tanya Nabi yang dijawab dari istri yang lainnya.

Jawaban itu didengar oleh Aisyah ra di dapur yang juga sedang menyiapkan makanan untuk Nabi yang mulia. Tak diduga, Aisyah keluar dan menghalau mangkuk sup itu dan terjatuh mengenai Nabi saw dan tamunya.

Jika kita menjadi Nabi saw, mungkin penyikapan kita akan marah, atau minimal memberikan pengertian kepada Aisyah ra tentang kesalahan perbuatannya.

Tapi, Dialah Nabi saw yang mulia. Dia hanya mengambil kain membasuh sup yang tumpah di baju beliau dan tamunya dan hanya mengatakan kepada tamunya “maafkan ibumu (ummul mu’minin)... dia sedang cemburu”

Penyikapan yang tepat yang lahir dari keinginan menjaga kebahagiaan istri. Ah... semoga kami mampu mencontoh Nabi kami yang mulia.

****

Kehidupan suami istri laksana lautan dalam yang tak pernah habis digali. Satu hal yang pasti, kita harus pertanggung jawabkan ijab-qobul yang sudah terucap dan disaksikan oleh Allah.

Lalu kita terikat amat kuat dengan hukum Allah.
*“Itsnaani yu’ajjiluhumullahu fid dunya, al-baghyu wa huquuqul waalidayn”*
..ada dua dosa yang dipercepat siksanya oleh Allah di dunia : *berbuat sewenang2 (Al-baghyu) dan durhaka kepada kedua org tua*.

Al-baghyu yang paling besar adalah kepada istri sendiri.
*Allah mensejajarkan, menyakiti istri sama dengan durhaka kepada orangtua.*

Kami berdua menghela nafas... tidak mudah memang menjadi suami, dan kami harus terus belajar. Semoga dengan slogan baru : “Happy Wife, Happy Life”, kami bisa dapatkan kebahagiaan dan kesuksesan kami kembali.

Warning : “Tulisan ini hanya akan cocok jika dibaca oleh suami dan dijalankan olehnya, bukan dipaksa2 sama istri untuk membaca dan melakukannya ☺.

#rahasiamagnetrezeki
#menjagaterumbukarang
Dikopi dari tokokite.com

/span>

12.2.18

MENGAPA MEMINTA KEPADA SESAMA ITU MENURUNKAN REJEKI KITA ?

Masih banyak pertanyaan seputar topik yg kemarin, soal minta meminta. Mengapa kalau meminta itu dampaknya akan berat bagi kita ?

Ada dua hukum alam yang langsung bekerja ke kita :

1. Hukum ketertarikan atau Law of Attraction : Pada saat kita meminta sumbangan, kita sedang memancarkan berita kepada semesta bahwa kita sedang kekurangan uang. Baik kita sedang meminta sumbangan untuk diri kita atau untuk lembaga. Itu akan menarik kondisi yang sama yaitu kondisi kekurangan uang, yg manifestasinya tentu menurunkan rejeki.  Kepada siapa ? Ya kepada yg memiliki perasaan itu alias si pengumpul sumbangan.

2. Hukum Sebab Akibat, atau _siapa menabur angin dia akan menuai badai._ Pada saat Anda meminta kepada seseorang, apalagi jika yg Anda mintai tidak bisa mengabulkan permintaan Anda karena tidak memiliki uang ataupun apa, Anda sedang menempatkan orang itu pada pikiran yg sama yaitu *pikiran tidak memiliki uang*, yang akan menarik penurunan rejeki pula bagi orang itu Siapapun yang menyebabkan rejeki seseorang merosot, rejekinya juga akan merosot lebih banyak lagi.

Sekarang bayangkan Anda yg mengirimkan WA atau SMS atau surat permintaan sumbangan. Dari 100 surat, berapa yg bisa menyumbang. Yg tidak menyumbang itu telah Anda rugikan karena memunculkan perasaan tidak punya uang, perasaan bersalah tidak bisa menyumbang dan berbagai perasaan negatif lainnya. Orang itu menarik kemiskinan kepada dirinya sendiri dengan perasaannya itu. Bagaimana dengan Anda yang telah menyebabkan munculnya perasaan itu ? Siapa menabur angin, dia akan menuai badai.

Tetapi jangan lantas digeneralisasi :"Kalau semua tidak mau menarik sumbangan, bagaimana dengan pembangunan masjid, gereja, pura, gedung RW?". Itu sama saja dengan berpikir "kalau semua jadi dokter siapa yg jadi pasiennya?"; "Kalau semua kaya dan pensiun, siapa yg akan bekerja". Karena hal itu tidak akan terjadi. Apalagi kalau ada fee sekian persen dari sumbangan itu. Semua akan semangat meskipun tahu ilmu ini. Lapar uang seringkali menutup logika karena saat lapar uang, yg berfungsi adalah otak reptil atau otak primitif kita.

Bagaimana jika kita sebagai bendahara tempat berkumpulnya uang sumbangan itu ? Apa juga berdampak ke rejeki kita ? Iya berdampak, tetapi positif karena itu akan memunculkan perasaan kaya dan bisa memberi orang lain, meskipun yg diberikan itu bukan uang kita. Itu akan meningkatkan rejeki kita.

Coba Anda amati, siapa yg biasanya menjadi bendahara ? Pasti yg lebih kaya dibanding yg lain. Siapa yg ditugasi meminta minta sumbangan ?. Biasanya yg keuangannya biasa biasa saja cenderung miskin.

Coba lihat bagaimana cerdiknya alam mengatur yang miskin bertambah miskin dan yg kaya tambah kaya ?

Tinggal Anda memilih mau berada di posisi yang mana?.

/span>