TINGGAL, TERTINGGAL ATAU DITINGGALKAN
/span>
Bu Pari, seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Suaminya bekerja menjadi tukang sapu jalan sebagai tenaga kontrak sementara. Anak pertamanya sekolah kelas 6 SD, anak keduanya sekolah kelas 2 SD, sedangkan anaknya yang ketiga masih berusia 2 tahun. Bu Pari berjualan rujak cingur di depan rumah kontrakannya. Pada masa pandemi virus Covid-19, Bu Pari sudah didatangi dan didata langsung oleh RT setempat, untuk mendapatkan bantuan sosial. Tapi Bu Pari menolak dengan sangat halus. Bu Pari tidak mau menerima bantuan sosial tersebut. Menurut Bu Pari, lebih baik bantuan sosial tersebut diberikan kepada yang lebih membutuhkannya. Bu Pari merasa hidupnya sudah penuh berkah, dia selalu bersyukur meskipun kehidupannya sangat sederhana, dan rumahnya masih ngontrak.
Bu Sayur, seorang janda dengan dua orang anak. Suaminya meninggal dunia tiga tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan kerja. Pesangon yang diberikan oleh perusahaan tempat suaminya dulu bekerja, memang cukup lumayan besar. Tapi sudah digunakan untuk menghidupi dua anaknya. Dan sudah habis. Semenjak kematian suaminya, Bu Sayur berjuang untuk menghidupi dua anaknya yang masih bersekolah SMP dan SD. Bu Sayur akhirnya memutuskan untuk memulai bisnisnya sendiri, yaitu memproduksi aneka bumbu masak kemasan. Usahanya baru berjalan, datanglah pandemi virus Covid-19. Meskipun berat, usahanya terus dijalankan. Sampai saat ini, belum ada satupun pihak yang menawarkannya bantuan sosial. Dan Bu Sayur tidak mau mencari-cari informasi perihal bantuan sosial. Bu Sayur lebih memilih untuk terus fokus menjalankan dan mengembangkan bisnis aneka bumbu masak kemasan produksinya. Agar dia bisa menghidupi dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya secara mandiri.
Bu Jagung, seorang ibu muda dengan satu orang anak yang baru berusia 2 tahun. Suaminya mempunyai bengkel sepeda motor yang lumayan besar. Namun di masa pandemi virus Covid-19 ini, usaha bengkel suaminya terimbas sepi. Pemasukan merosot tajam. Padahal harus bayar gaji karyawan setiap bulannya. Akhirnya, usaha bengkel suaminya kolaps. Tutup total. Namun demikian, Bu Jagung masih mempunya aset beberapa kendaraan bermotor milik pribadi. Bu Jagung kemudian sangat giat mencari informasi bantuan sosial kesana kemari. Hampir semua info dan lowongan bantuan sosial, semuanya dikejar mati-matian. Gak peduli harus srobot sini srobot sana. Bahkan hingga tidak segan memalsukan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Hanya demi untuk bisa memperoleh bantuan sosial. Padahal aset milik pribadinya masih banyak. Akhirnya, Pak RT memilih mencoret Bu Jagung dari daftar penerima bantuan sosial. Bu Jagung pun tidak bisa memperoleh dana bantuan sosial.
Bu Terong, seorang ibu paruh baya dengan dua orang anak yang sudah kuliah di luar negeri. Suaminya adalah seorang pengusaha besar yang terkenal. Mempunyai koneksi kuat dengan banyak pejabat tingkat tinggi. Hidupnya glamor dan menjadi semacam leader dalam komunitas sosialita. Bahkan Bu Terong bisa mengatur siapa-siapa saja yang harus diberikan dana bantuan sosial. Suka-suka sesuka-sukanya Bu Terong, para pejabat pasti manut. Siapapun yang direkomendasikan oleh Bu Terong untuk mendapatkan bantuan sosial, pasti bisa. Dan Bu Terong sama sekali tidak peduli apakah orang itu layak menerima bantuan sosial atau tidak. No reken you lah pokoknya, yang penting hatinya Bu Terong senang.
Cerita empat ibu-ibu di atas hanyalah rekayasa belaka. Tapi siapa yang berani menyanggah bahwa cerminan dari cerita rekaya di atas tidak ada pada kenyataan saat ini? Yang menjadi Bu Pari, pasti ada. Meskipun jumlahnya sangat sedikit. Yang menjadi Bu Sayur, pasti juga ada. Yang menjadi Bu Jagung, ada juga pastinya. Yang menjadi Bu Terong, apakah ada? Hmmm... You know who...
Tapi sebenarnya niat saya menulis cerita ini bukan untuk membahas soal ibu-ibu, dengan segala prinsip dan pilihan hidupnya masing-masing. Bukan. Bukan itu yang hendak saya sampaikan. Niat saya menulis cerita ini adalah sesuai dengan judul tulisan ini. Yaitu: Tinggal, Tertinggal atau Ditinggalkan. Apa maksudnya?
Dunia saat ini semakin berkembang sangat super pesat. Kemajuan teknologi telah melahirkan banyak lompatan-lompatan kreatifitas dan inovasi yang sangat luar biasa. Namun demikian, ada orang yang memilih untuk tetap tinggal di tempat. Tidak beranjak sedikitpun oleh kemajuan dan perkembangan dunia. Hidup yang dipilihnya tetap dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Bahkan memilih menjauh dari segala bentuk produk kemajuan teknologi. Memilih hidup menepi dan menyepi. Tinggal, dan menikmati di mana keberadaannya yang penuh ketenangan serta kedamaian yang diinginkannya. Tinggal. Itu pilihannya, dan dijalaninya dengan ihklas sepenuh hati. Seperti Bu Pari.
Namun ada juga, akibat dari beragam kemajuan teknologi, justru menjadi manusia yang tertinggal. Kenapa mereka tertinggal? Apakah karena mereka malas? Karena mereka tidak mau bekerja keras? Atau karena mereka tidak mau berjuang? Pada sebagian orang, mungkin memang demikian. Namun, ada juga mereka yang tertinggal bukan karena mereka malas dan tidak mau bekerja keras. Mereka tertinggal justru hanya karena dilahirkan di sudut-sudut terjauh kehidupan. Mereka lahir di bawah kolong jembatan. Atau terlahir di dalam gubuk-gubuk pelacuran. Atau terlahir di pelosok-pelosok daerah tertinggal. Biasanya, mereka hidup dalam kemiskinan yang masif dan lingkungan yang tertindas. Sangat jauh dari kepedulian orang lain. Bahkan, negara (pemerintah) jarang sekali memikirkan mereka. Jikapun ada kepedulian atau seolah dipikirkan, itupan biasanya musiman lima tahunan. Atau karena musiman pilihan umum dan pilkada. Mereka hanya dijadikan jargon dan slogan kampanye belaka. Sesudah itu, mereka tertinggal lagi.
Ada juga yang memang sengaja ditinggalkan. Mungkin karena mereka dianggap hanya akan menjadi beban. Dihitung tidak menguntungkan. Dianggap hanya sebagai angka statistik belaka. Apalagi dalam kemajuan teknologi yang semakin berjiwa materialistik dan kapitalistik, yang hanya menghitung-hitung soal untung dan rugi, maka siapapun yang dianggap menjadi beban dan kerugian, maka harus segera ditinggalkan. Bahkan ada juga yang harus “ditiadakan”. Dianggap tidak ada, meskipun masih bernyawa. Lebih celaka lagi, hanya dijadikan “tunggangan” untuk meraih kekuasaan, atau “dikerjai” untuk memupuk kekayaan pribadi orang lain. Kaum kapitalis berlomba-lomba menumpuk-numpuk kekayaan pribadi, dengan menunggangi manusia-manusia yang lainnya. Anehnya, mereka masih merasa bahwa dirinya adalah manusia.
Apa artinya kecepatan kemajuan teknologi, jika masih ada manusia lainnya yang tertinggal dan ditinggalkan? Apa artinya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jika masih ada manusia lainnya yang direndahkan dan ditindas? Apa artinya pendidikan tinggi dan ilmu setinggi langit, jika ternyata masih dengan mudahnya membiarkan kemiskinan dan penindasan yang terpampang jelas di depan mata? Apa artinya segala macam kreatifitas dan inovasi yang bisa diciptakan, jika tujuannya hanya untuk memperkaya diri sendiri dan memiskinkan manusia yang lainnya?
Tinggal, Tertinggal atau Ditinggalkan. Setiap hari penuh kita dikepung dan melihat langsung semua realitas itu. Namun sayangnya, kita semakin disibukkan dengan urusan masing-masing. Terlalu sibuk memikirkan diri sendiri. Terlalu serius mengurusi kepentingan dan ambisi pribadi. Terlalu sibuk menceramahi untuk menonjolkan diri. Terlalu sibuk menumpuk-numpuk kekayaan dan materi. Hingga kita hilang kesadaran, dan lupa bahwa kita adalah: MANUSIA.
Benarkah kita adalah manusia?
---
Sam WES
Paseban Jagad Gumelar
29/ 09/ 2020 # 01.45 WIB