Hong ulun bhasuki langgeng
Om swastyastu
Jangan lewatkan upacara ini adalah upacara yang terbesar di tengger
*Besok Tanggal 23 november 2018*
Di *Sanggar Agung Purwo Giri Waseso Argosari*
Oleh:wido mahendra
N
UPACARA UNAN-UNAN [ MAYU BUMI ]
Pengertian istilah unan-unan dapat dipahami melalui makna yang terkandung dalam Upacara Unan-unan itu sendiri. Unan-unan berasal dari kata Una [ bahasa Jawa kuna ] yang berarti kurang. Jadi Unan-unan itu bermakna mengurangi, pengertian mengurangi adalah mengurangi perhitungan Bulan/Sasi dalam satu tahun pada waktu jatuh tahun panjang [ tahun landhung ]. Upacara Unan-unan dilakukan setiap empat lima tahun sekali, atau dilaksanakan sewindu sekali, istilah sewindu bermakna delapan tahun, namun jumlah hari didalamnya tidak cocok apabila istilah sewindu itu dikaitkan dengan tahun Surya/Matahari ataupun tahun Candra/Bulan. Istilah sewindu hanya cocok apabila dikaitkan dengan tahun Wuku, yang terdiri dari dua ratus sepuluh hari [ 210 ] dalam tahun wuku. Jadi upacara unan-unan yang dimaksud dilaksanakan sewindu sekali itu adalah satu windu wuku atau delapan tahun wuku. Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tahun wuku adalah siklus tiga puluh wuku [ minggu ] yang masing-masing terdiri dari tujuh hari. Siklus perjalanan wuku terdiri dari dua ratus sepuluh hari. Nama hari dalam satu wuku [ minggu ] berumur tujuh hari dengan istilah RADITE, SOMA, ANGGARA, BUDA, RESPATI, SUKRA, TUMPEK/SANISCARA. Nama pasaran LEGI, PAHING, PON, WAGE, KLIWON. Paduan antara hari dalam wuku dan hari dalam pasaran dan tanggal ataupun panglong, menghasilkan tiga puluh paduan. Beberapa nama hasil paduan wuku hari pasaran dan tanggal ataupun panglong pada Bulan/Sasi tertentu dianggap sebagai “ DINA MECAK “ atau nguna ratri yang pada hari tersebut dua tanggal yang berurutan disatukan, maka pada bulan tersebut hanya terdiri dari dua puluh sembilan hari. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa purnama akan jatuh pada tanggal lima belas [ 15 ] dan tilem jatuh pada panglong lima belas [ 15 ]. Hal tersebut atas dasar kenyataan bahwa lama peredaran bulan dalam satu tahun adalah 354 hari, 8 jam, 48 menit, 36 detik [ 354, 34 hari ] sehingga satu bulan itu sebenarnya hanya 29 hari, 12 jam, 44 menit, 36 detik [ ± 29, 54 hari ]
Pada dasarnya Kalender tahun Saka itu mengikuti perputaran Surya/Matahari, oleh karena perhitungan hari untuk tiap bulanya mengikuti perputaran Candra/Bulan agar sesuai dengan peredaran Surya/Matahari, maka diadakan penyesuaian setiap delapan tahun peredaran wuku, atau lima tahun peredaran Candra. Penyesuaian itu dilakukan pada Bulan/Sasi KARO, KALIMA, KADHESTA TAHUN SAKA, yang pada bulan tersebut ada Bulan/ Sasi yang dihilangkan atau di una [ nguna sasi ] pada waktu itulah digunakan untuk pelaksanaan Upacara “ Unan-unan “ andaikata Unan-unan jatuh pada Sasi Karo, maka Karo den Kinasakaken artinya Sasi Karo dijadikan Sasi Kasa.
-2-
Jatuh pada Sasi Kalima, maka Kalima den Kinapataken artinya Sasi Kalima dijadikan Sasi Kapat. Jatuh pada Sasi Kadhesta, maka kadhesta den Kasepuluhaken artinya Sasi Kadhesta dijadikan Sasi Kasepuluh. Sesuai dengan kenyataan tersebut maka pengertian Unan-unan adalah merupakan usaha untuk menyesuaikan atau melinggihkan [ nglungguhaken tahun nguna sasi ] tahun berikutnya dari perhitungan perputaran Candra/Bulan kepada perputaran Surya/Matahari yang disertai dengan ritual.
Masyarakat Hindu di tengger dalam menentukan hari-hari baik dalam rangka melakukan upacara ritual, baik upacara yang dilakukan secara bersama-sama/kumunal, maupun yang dilakukan secara pribadi/individual berpedoman kepada Kalender yang berpolakan penggabungan tahun Surya, tahun Candra dan Wuku atau disebut
SURYA CANDRA PERMANA, umur tahunnya ada dua macam, tahun panjangnya berumur tiga belas [ 13 ] bulan candra, dan tahun pendhek berumur dua belas [ 12 ] bulan candra, sedangkan pola tahun wukunya dipakai dasar untuk penetapan Purnama – Tilem yang dinamakan PANGALANTAKA, ini khusus hanya dipergunakan Kalender Tengger dan Bali.
Selama dalam tahun panjang atau tahun landhung yang biasa disebut TAHUN PAHING, masyarakat Hindu di Tengger tidak diperkenankan melaksanakan ritual-ritual yang sangat besar yang sifatnya ritual pribadi/individual. Ada tiga hal pokok yang tidak boleh dilakukan, antara lain :
1. Tidak boleh memukul/nuthuk lambang sunan, artinya tidak boleh mendirikan bangunan rumah permanent.
2. Tidak boleh menggelar daun Petra/mbeber godhong, artinya tidak boleh mengundang para leluhur atau para Atma, sehingga dengan demikian juga tidak boleh melaksanakan Walagara Pungaran.
3. Tidak boleh membunyikan gentha/nguneken gentha, artinya tidak boleh melaksanakan Upacara Entas-entas.
Tahun panjang atau tahun landhung juga biasa disebut tahun Pahing, adalah merupakan tahun dimana terjadi tidak keseimbangan alam, baik secara sakala maupun niskala. Tahun panjang adalah juga merupakan tahun mala masa/tahun tidak baik untuk melakukan ritual-ritual penting. Oleh karena itu patutlah kiranya bagi masyarakat Hindu di Tengger tidak melakukan ritual-ritual sebagaimana tersebut diatas.
Upacara Unan-unan merupakan kegiatan ritual untuk mengadakan penyucian bersih desa, yaitu membebaskan desa dari gangguan makhluk halus [ bhutakala ] atau sebagai tolak-balak. Disamping itu Unan-unan digunakan pula untuk permohonan penyucian dan terhindar dari segala penyakit dan penderitaan, serta terbebas dari segala malapetaka. Bagi yang masih hidup, hidup sejahtera dan terbebas dari musuh dan gangguan lainnya.
- 3 -
Termasuk didalamnya adalah penyucian bagi para arwah nenek moyang/leluhur yang masih belum sempurna di alam sesudah kematian fisik/loka jati pralina. Untuk membebaskan dari segala gangguan dimohonkan ampunan agar lepas dari beban ikatan asuba karmanya dan selanjutnya dapat kembali ke alam asal yang lebih sempurna, yaitu Nirwana. Nirwana merupakan tempat terakhir bagi arwah manusia yang telah tersucikan dari segala dosa dan noda, dan yang telah diterima oleh Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan yang Maha Esa.
Upacara Unan-unan dilaksanakan di “ SANGGAR PUNDEN “ sebagai puncak acara. Pada upacara ini dihadiri oleh warga desa dengan sesaji dan pengucapan mantra untuk berdoa bersama memohon ampunan bagi warga masyarakat, baik yang masih hidup maupun bagi para arwah leluhur. Dengan cara ini diharapkan masyarakat tengger terbebas dari penderitaan, kembali kepada kesucian dan terhindar dari segala malapetaka, maka kehidupan menjadi sejahtera, aman dan tentram.
Suatu kekhususan pada Upacara Unan-unan adalah dengan mengorbankan kerbau yang dagingnya digunakan sebagai kelengkapan sesaji yang disebut KALAN, setelah selesai upacara dibagi-bagikan kepada warga masyarakat. Daging tersebut dimasak tanpa garam. Kerbau dalam bahasa jawa kuna disebut MAHISA. Mahi artinya Dunia besar atau wujud yang Agung. Isa artinya yang berkuasa, nama Siwa.
Jadi dalam rangka Upacara Unan-unan menggunakan korban kerbau, adalah dikarenakan Kerbau merupakan binatang yang mempunyai karakter/kepribadian yang agung, kuat dan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kerbau secara mitologi sebagai tunggangan BETHARA YAMA, Dewa keadilan/Dewa kebajikan.
Upacara Unan-unan itu secara spiritual bermakna : [1] untuk melengkapi segala kekurangan lahir-batin seperti yang tersirat pada penyesuaian jumlah hari tahun saka yang dihitung dengan peredaran Candra ke peredaran Surya ; [2] untuk membersihkan desa dari segala noda, dan sebagai tolak-balak terhadap segala mala petaka ; [3] menjauhkan berbagai gangguan makhluk halus [ bhuta kala ] ; [4] memohonkan ampunan bagi para arwah nenek moyang/leluhur masyarakat Tengger dan [5] memohonkan keselamatan bagi masyarakat Tengger dewasa ini serta keselamatan alam semesta pada umumnya.
Makna tersebut tersirat dalam inti mantra yang diucapkan oleh “ PANDITA DUKUN “ pimpinan Upacara Unan-unan. Seluruh inti mantra itu terdiri dari delapan belas buah satuan/lanjaran yang masing-masing dibuka dengan kata “ HONG PUKULUN “ dan ditutup dengan “ PUNIKA PUKULUN “. Satuan mantra pertama adalah sebagai pembukaan yang berisi puja dan maksud persembahan yang disajikan.
-4-
Makna mantra Unan-unan tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut :
1. Mantra pertama itu merupakan permohonan agar terbebaskan dari segala penderitaan, serta hati nuranianya menjadi bersih dan suci kembali. Disamping itu merupakan permohonan untuk mendapatkan keheningan kesadaran, tahu apa yang perlu diabdikan dan dipersembahkan demi kebenaran dan kebaikan masa kini dan masa depan. Permohonan itu disertai dengan sesaji berbagai bunga wangi, air suci, daun, buah-buahan dan asap dupa yang ditaruh diatas tanah tempat sesaji. Dalam permohonan maka bersujudlah dihadapan kaki Siwaya, Tuhan Yang Maha Suci, Hong pukulun, ya Tuhan.
Mantra-mantra selanjutnya adalah berisi makna sebagai berikut :
2. Permohonan kepada Tuhan untuk disucikan kembali, serta diperbaiki segala dosa dan kekurangan umat manusia
3. Sarana untuk bersembah dan memuja
4. Tugas kuwajiban bagi para Dewata
5. Tuhan pencipta, pelindung alam semesta
6. Pencipta pelindung ruang, Panca Resi [ penjaga lima penjuru ]
7. Pencipta pelindung waktu, Sapta Resi [ penjaga tujuh satuan hari ]
8. Pencipta pelindung pribadi manusia [ watek penggawan ]
9. Pensucian manusia dari segala noda dan dosa, pemeliharaan manusia dengan perintah atau ajaran dan penyejukan manusia melalui persembahan.
10. Permohonan untuk memperoleh kekuatan batin melalui japa-mantra, dan kemampuan manusia untuk berbuat kebaikan, maupun tapa-brata agar terbebas dari segala gangguan, dijauhkandari musuh, dapat memperoleh nafkah dengan baik, hidup sejahtera dan damai.
11. Permohonan agar terlindung dari gangguan yang datang dari segala penjuru oleh penjaga timur, selatan, barat, utara dan tengah.
12. Permohonan agar terlindung dari gangguan makhluk halus dari selatan dan diri sendiri.
13. Permohonan agar terlindung dari gangguan makhluk halus dari luar.
14. Permohonan agar terlindung dari gangguan makhluk halus yang berada pada Sanggar Pamujan [ baik dibelakang maupun diantara Sanggar ].
15. Permohonan agar dalam kehidupannya tidak mendapat gangguan apapun, para arwah nenek moyang/leluhur terbebaskan dari dosa-dosanya, dapat kembali ke Nirwana, para makhluk halus pulang ke tempat masing-masing, tidak ada yang ketinggalan.
-5-
Sebagai penutup adalah mantra 16, 17, dan 18. Ketiga mantra itu berisi permohonan dari penyelenggara Upacara yaitu Kepala Desa/Petinggi dan warga Desa, yang diucapkan oleh Pandita Dukun pimpinan Upacara. Isi permohonan adalah [1] untuk penyempurnaan perhitungan tahun Saka dari siklus peredaran Bulan ke siklus peredaran Matahari dibarengi dengan persembahan berupa korban Kerbau/Mahisa, sesaji serba seratus, muatan/mamratan lima puluh sebelah, cokotan lima puluh sebelah dapat diterima dengan kesucian. [2] persembahan berupa sesaji pras manca lima, liwet manca lima, endhog manca lima diatasnya diletakkan sesaji gubahan alus dapat diterima dengan kesucian, dan [3] persembahan sesaji gegenep untuk permohonan bagi keselamatan umat manusia seluruh dunia dengan dibarengi sesaji gedhang ayu, suruh ayu, jambe ayu dapat diterima dengan kesucian.
Mantra yang digunakan bersumberkan dari mantra Purwa Bumi Kamulan, yang berisi penciptaan jagad raya. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta dengan segala isinya termasuk umat manusia. Tuhan menciptakan ruang angkasa dan tata waktu. Disamping itu atas kekuasaanNya, tuhan menciptakan para Dewata dengan segala tugas kewajibannya, dan menciptakan makhluk halus yang sering mengganggu manusia. Bahkan sesama manusiapun dapat saling mengganggu.
Dengan Upacara Unan-unan atau Mayu Bumi [ Amrastita Bumi ] itu dimohonkan agar manusia terbebas dari penderitaan, noda dan dosa, mohon memperoleh jalan yang benar, menjadi manusia kuat dan berwibawa, mohon memperoleh kesejahteraan dan kedamaian, serta terbebas dari segala macam gangguan, bermakna pula agar para arwah leluhur mendapatkan pengampunan dan mendapat tempat di Nirwana. Disamping itu melalui Upacara Unan-unan bermakna pula agar umat manusia seluruh dunia [ Lumahing Bumi kureping Langit ] mendapatkan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian abadi.
/span>