21.2.18

BAHASA INDONESIA, (MASIH) PENTING GAK SIH?

Seusai lulus SD setiap ditanya hasil ujian dengan bangga saya bilang bahwa saya mendapatkan nilai 9 untuk semua mata pelajaran kecuali Bahasa Indonesia yang “cuma” dapat nilai 7,78 saja.

“Oh, cuma Bahasa Indonesia aja ya yang nilainya 7. Pinter ya kamu”, begitulah pujian para om dan tante kepada saya yang waktu itu masih imut, endut, tetapi sudah kelihatan bibit-bibit ketampanannya itu.

Dan begitulah seterusnya saya melewati masa-masa SMP hingga SMA, dan selalu Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang tidak terlalu dianggap serius dan termaafkan apabila cuma dapat nilai 6 atau 7 (nilai 5 ga boleh, karena bakalan langsung tinggal kelas). Bahkan nilai Bahasa Inggris saya hampir selalu lebih baik daripada nilai Bahasa Indonesia di rapor.

Kalau nilai Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris sama-sama bagus di rapor, mana yang akan dibanggakan Ibu saya di depan saudara-saudara? Pasti nilai Bahasa Inggris, bukan nilai Bahasa Indonesia. Apalagi kalau Matematika atau Fisika dapat nilai bagus akan jauh lebih membanggakan lagi untuk diceritakan, tapi nilai Bahasa Indonesia ga perlu repot-repot diceritakan. Gak penting-penting amat kan?

Ini ceritaku. Mana ceritamu?

Ups … kayaknya cerita kita ga jauh berbeda yah? Termasuk teman-teman yang anak-anaknya udah pada sekolah saya yakin ceritanya mirip-mirip gitu ya. Lebih bangga kalau anak-anak kita pintar di Matematika atau Bahasa Inggris daripada pintar di Bahasa Indonesia.

Tapi sekarang saya sadar bahwa meremehkan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah sebuah kesalahan fatal. Terbukti bahwa persoalan tata bahasa bisa menjadi persoalan serius. Salah ucap, salah tulis, atau salah baca bisa berakibat fatal. Hari ini bisa kita saksikan ada beberapa pejabat yang terseret kasus dan menimbulkan kegaduhan luar biasa gara-gara kurang pandai menata bahasanya.

Saya sudah lima tahun terakhir ini menjadi penulis aktif, baik berupa karya buku, media cetak, atau sekedar di sosmed. Saya selalu berusaha menata bahasa tulisan supaya bisa dipahami pembaca dengan baik, dan meminimalisir peluang untuk disalahpahami oleh pembaca. Toh ternyata pengalaman membuktikan masih banyak orang yang gagal paham terhadap substansi yang disampaikan, apalagi mereka yang bersumbu pendek atau yang baperan.

Misalkan saja jika saya membuat tulisan yang mengkritisi perilaku umat Islam yang berlaku tidak Islami, seringkali saya langsung dituduh sebagai “pembenci Islam”. Padahal jelas di situ yang dikritisi adalah perilaku oknumnya, bukan ajaran Islamnya. Atau mengkritisi kebijakan Pemerintah yang tidak pro-rakyat, saya langsung dituduh “hater” tanpa berusaha memahami substansi tulisan tersebut.

Ini kita baru bicara contoh tulis menulis dalam tataran normal. Belum lagi kita bicara teknologi yang bisa dengan mudah memanipulasi lisan dan tulisan. Memotong sebagian kata dan dibingkai untuk kepentingan politis menjadi sesuatu yang sering terjadi akhir-akhir ini. Betapa banyak kita saksikan judul berita yang ternyata bertolak belakang dengan isi beritanya, sementara banyak orang yang senang gaduh hanya dengan membaca judul berita saja tanpa membaca isinya.

Maka dari itu wahai para orangtua, ajarilah anak-anak kita membaca dan menulis dengan benar. Bukan sekedar membaca tapi juga balajar mencerna sebuah tulisan atau lisan dengan baik. Apalagi generasi saat ini yang terhubung oleh internet mau tidak mau harus bisa membaca dan menulis standar.  Jangan sampai kemampuan baca dan tulis kita masih belum baik tapi sudah berani gagah-gagahan di medsos “mendadak pakar”, baik pakar politik, pakar agama, dan berbagai pakar abal-abal lainnya.

Kegaduhan seringkali timbul gara-gara soal “gagal paham” saja. Gagal paham yang berujung pada perselisihan kebanyakan tidak disebabkan oleh karena kita tidak pintar matematika atau fisika, tapi oleh karena kita tidak terlalu pintar Berbahasa Indonesia.

Tidak pintar berbahasa Indonesia?

Ya, saya berani meyakinkan bahwa banyak orang Indonesia belum benar-benar pintar berbahasa Indonesia. Contoh sederhana, banyak di antara kita yang belum bisa membedakan “di” sebagai kata sambung, dan “di” sebagai awalan penunjuk kata pasif. Sehingga kebanyakan masih bingung, misalnya untuk kata “tutup” harus ditulis “ditutup” atau “di tutup”. Ini cukup memalukan bagi kita yang mengaku sebagai bangsa Indonesia tetapi tidak bisa menggunakan bahasanya sendiri dengan baik.

Memalukan? Ya, jika kita mengaku sebagai bangsa Indonesia. Karena bangsa ini terlahir selain dari sumpah satu bangsa, satu tanah air, juga satu bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia.

Maka sekali lagi ajarilah anak-anak kita berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dan jangan pernah mengecilkan arti Bahasa Indonesia. Karena kecerdasan berbahasa sedikit banyak menunjukkan seberapa tinggi peradaban suatu bangsa.

Selamat Hari Bahasa Ibu Sedunia 21 Februari … ups telat sehari yah, tapi gapapa lah ;)
By : Wima Bramantya

/span>

0 komentar:

Posting Komentar